Skip to main content

Posts

Sejarah Sriwijaya Sebagai Pusat Pendidikan dan Penyebaran Agama Budha

Meski kini merupakan agama minoritas di Indonesia, agama Budha pernah jaya dan berkembang pesat di negeri ini. Hal ini bisa terlihat dari keberadaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan terbesar yang pernah berdiri di wilayah Nusantara. Pada masa itu, Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini juga sesuai dengan berita dari seorang bhiksu Cina bernama I-Tsing yang pernah mengunjungi Sriwijaya antara tahun 671 - 672 M.  Candi Muaratakus via tribunnewswiki Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat pertemuan antara para jemaah agama Budha dari Cina ke India dan dari India ke Cina. Melalui pertemuan itu, di kerajaan Sriwijaya berkembang ajaran Budha Mahayana. Berita Cina dari I-Tsing menyebutkan bahwa Sriwijaya merupakan sebuah kota berbenteng karena dikelilingi tembok. Kota ini juga dihuni oleh kurang lebih 1000 orang bhiksu yang mendalami ajaran agama Budha seperti halnya di India. Para bhiksu itu belajar di bawah bimbingan gurunya yang

Kompaknya Tari Saman Asal Gayo, Aceh

Dengan segala keistimewaannya, wilayah Aceh memiliki beragam kekayaan budaya yang menjadi ciri khasnya. Salah satunya yaitu kesenian tari Saman asal suku Gayo yang mendiami dataran tinggi Gayo, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak 24 November 2011, Tari yang populer dengan nama tarian seribu tangan ( a thousand hand dance ) ini juga telah ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representasi Budaya Tak Benda Warisan Manusia (Intagible Elements of World Curtular Heritage). Tari Saman via goodnewsfromindonesia.id Asal Usul Sejarah Tari Saman Tari Saman adalah kesenian tari asal suku Gayo yang dibawakan oleh sejumlah penari laki-laki. Dahulu, tarian ini diciptakan oleh seorang Ulama Aceh bernama Syekh Saman pada abad ke 14 M. Syekh Saman menggunakan tari Saman sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam di tanah Gayo. Konon nama tarian ini juga diambil dari nama Sang Syekh Saman sebagai tokoh penciptanya.  Sebelum tercipta tari Saman, masyarakat Gayo telah mengenal Pok-ane, yakni sebua

Para Qari Qiraah Sab'ah, Qiraah 'Asyrah dan Qira' ah Arba'ah 'Asyar

Dalam pembacaan Al Qur'an, dikenal adanya beberapa qiraat  yang dijadikan sebagai rujukan. Qira'at merupakan metode atau cara baca lafadz atau kalimat di dalam al-Qur'an dari berbagai macam segi (riwayat) sebagaimana telah diriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW. Macam-macam qiraat ini timbul akibat perbedaan lahjah (dialek) di antara kabilah-kabilah suku Arab. Di antara sekian banyak lahjah-lahjah bahasa Arab, yang termasyhur adalah lahjah Quraiys, Hudzail, Tamim, Asad, Rabi'ah, Hawazin, dan Sa'ad.  Seperti disebutkan di atas, perbedaan lahjah (dialek) orang-orang Arab antara satu dengan lainnya ini memang turut pula mempengaruhi adanya perbedaan cara membaca lafadz Al Qur'an. Dalam perkembangannya, pada sekitar tahun 200 H, muncullah ahli-ahli qiraat yang tidak terhitung jumlahnya. Di antara sekian banyak ahli qiraat, Qari - Qari yang termasyhur adalah sebagai berikut: 1. Abdullah bin Amir Al-Yahshabi (Ibnu Amir), meninggal di Syam pada tahun 118 H. Perawi-

Karya-Karya Sastra Pada Masa Mataram Islam

Selain usaha untuk memperjuangkan kejayaan kerajaan, raja-raja Mataram Islam juga menaruh perhatian besar pada bidang kebudayaan. Pada masa ini, berkembang kebudayaan kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Islam. Salah satu yang cukup populer bahkan masih dilestarikan hingga saat ini yaitu upacara Grebeg . Selain itu, bidang lain termasuk seni dan kesusastraan juga turut dikembangkan pada masa kejayaan Mataram Islam ini.  ilustrasi Raja Mataram pertama, Panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Selanjutnya, raja kedua Mas Jolang yang bergelar Panembahan Seda ing Krapyak juga berjasa dengan usahanya menyusun sejarah negeri Demak. Pada masa pemerintahan Mas Jolang juga ditulis beberapa kitab suluk seperti Suluk Wujil (1607) yang berisi wejangan Sunan Bonang kepada abdi raja Majapahit bernama Wujil dan Serat Nitisruti (1612) yang digubah oleh Pangeran Karanggayam. Pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Agung, bidang

Beratnya Sebuah Perjuangan dan Harapan Yang Akan Selalu Ada

ilustrasi via istockphoto   Pada suatu hari, Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah SAW (suaminya) tentang pengalamannya dalam berdakwah, "Pernahkah datang kepada engkau hari yang lebih berat daripada penderitaan engkau pada waktu peristiwa perang Uhud?" Rasulullah SAW menjawab, "Saya telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Dan penganiayaan terberat yang pernah saya rasakan adalah ketika saya mendatangi kampung aqabah dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal (salah seorang pembesar di Thaif). Ia sama sekali tidak menanggapi saya, sehingga akhirnya saya pun pergi dengan perasaan sedih". Beberapa riwayat bahkan menyebutkan bahwa wajah Rasulullah SAW sampai berdarah karena dilempari batu oleh penduduk Thaif.  Rasulullah melanjutkan, "Ketika saya berhenti di Qarnul Tsa’alib dan menengadah ke langit, saya melihat awan berada di atasku. Tiba-tiba Malaikat Jibril datang memanggil saya dan berkata, "Sesungguhnya Allah telah mengetahui tindakan

Sejarah Pecahnya Kerajaan Mataram Islam

via oleholehmaktratap.blogspot.com  Kerajaan Mataram (Islam) adalah salah satu kerajaan besar berbentuk kesultanan yang berdiri pada abad ke-16 di tanah Jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Panembahan Senapati pada tahun 1586 sebagai buntut dari runtuhnya Kerajaan Pajang. Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya ketika kesultanan ini berada di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah dari tahun 1613 hingga tahun 1645.  Sultan Agung Hanyakrakusuma memang mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya. Sang Raja Mataram ini memiliki cita-cita besar untuk mempersatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Pada tahun 1627, hampir seluruh pulau Jawa telah berhasil dipersatukan di bawah kekuasaan Mataram, kecuali kesultanan Banten, dan Batavia yang dikuasai VOC. Di bawah pemerintahannya, Mataram bahkan berani menghadapi kekuatan VOC di Batavia meski akhirnya tidak berhasil.  Sayangnya, sepeninggal Sultan Agung pada tahun 1645, kerajaan Mataram mulai goyah. Ber

Praktek Toleransi Beragama Pada Zaman Majapahit

Sebagai negara multietnik, masyarakat Indonesia memang dituntut untuk saling menghormati dan saling menghargai akan perbedaan yang ada, termasuk dalam urusan keyakinan. Untuk itulah kerukunan antar umat beragama menjadi penting untuk diwujudkan. Namun sebelum orang masa kini mengenal istilah toleransi dan menjalankannya, masyarakat pada zaman kerajaan Majapahit ternyata sudah lebih dulu mempraktekkannya dalam keseharian mereka.  Pada masa itu, berkembang agama Hindu Siwa dan agama Budha. Meski Hindu Siwa menjadi agama mayoritas saat itu, kedua umat beragama ini memiliki toleransi yang tinggi sehingga tercipta kerukunan umat beragama yang baik. Berdasarkan sumber-sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dan aliran Siwasiddhanta, kecuali ratu Tribhuwanatunggadewi (ibunda Hayam Wuruk) beragama Buddha Mahayana. Meskipun begitu, agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga sekitar tahun 1447 M.  Raja keempat Majapahit, Hayam Wuruk (1350-1389)

Ad by Adsterra