Skip to main content

Sejarah Pecahnya Kerajaan Mataram Islam

4 lambang
via oleholehmaktratap.blogspot.com 

Kerajaan Mataram (Islam) adalah salah satu kerajaan besar berbentuk kesultanan yang berdiri pada abad ke-16 di tanah Jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Panembahan Senapati pada tahun 1586 sebagai buntut dari runtuhnya Kerajaan Pajang. Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya ketika kesultanan ini berada di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah dari tahun 1613 hingga tahun 1645. 

Sultan Agung Hanyakrakusuma memang mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya. Sang Raja Mataram ini memiliki cita-cita besar untuk mempersatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Pada tahun 1627, hampir seluruh pulau Jawa telah berhasil dipersatukan di bawah kekuasaan Mataram, kecuali kesultanan Banten, dan Batavia yang dikuasai VOC. Di bawah pemerintahannya, Mataram bahkan berani menghadapi kekuatan VOC di Batavia meski akhirnya tidak berhasil. 

Sayangnya, sepeninggal Sultan Agung pada tahun 1645, kerajaan Mataram mulai goyah. Berbeda dengan sang ayah, putranya yang bergelar Amangkurat I justru menjalin hubungan baik dengan Belanda. Belanda mulai diizinkan masuk ke wilayah Mataram. Selain itu, sikap Amangkurat I yang sewenang-wenang juga menimbulkan beberapa pemberontakan, bahkan di antaranya hingga masuk wilayah keraton. Salah satu pemberontakan yang paling terkenal adalah pemberontakan Trunojoyo dari Madura. Amangkurat I sampai terluka dan kemudian dilarikan ke Tegalwangi hingga akhirnya meninggal dunia.

Pada masa pemerintahan Amangkurat II (1677 - 1703), wilayah kekuasaan Mataram menjadi semakin sempit. Banyak daerah kekuasaannya telah diambil alih oleh VOC. Ibukota kerajaan kemudian dipindahkan ke Kartasura. Keadaan menjadi semakin suram setelah Amangkurat II meninggal. Hal ini karena seringkali terjadi perebutan kekuasaan di antara kaum bangsawan. Kondisi seperti ini pun dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda untuk melancarkan politik liciknya yaitu devide et impera.

Politik devide et impera Belanda semakin menampakkan hasilnya ketika ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari  1755. Perjanjian tersebut bertujuan untuk meredam pemberontakan yang dipimpin oleh Mangkubumi di Yogyakarta. Melalui perjanjian tersebut, maka Kerajaan Mataram kemudian dipecah menjadi dua bagian, yaitu:
  1. Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono III (1749 - 1788).
  2. Kesultanan Yogyakarta (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan Mangkubumi sebagai rajanya, bergelar Sultan Hamengkubuwono I (1755 - 1792).

Di sisi lain, ada pula pemberontakan lainnya terhadap Surakarta yang dilakukan oleh Mas Said (Pangeran Samber Nyawa). Untuk meredam perlawanan itu, maka pada tahun 1757 diadakanlah perjanjian yang hampir sama dengan Perjanjian Giyanti yaitu Perjanjian Salatiga. Isi perjanjian ini yaitu menobatkan Mas Said sebagai raja di wilayah Mangkunegaran yang ketika itu menjadi bagian dari Kasunanan Surakarta, dengan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara.

Ketika wilayah jajahan Belanda di Indonesia jatuh ke tangan Inggris (1811), Inggris menempatkan Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderalnya. Ia adalah seorang pro demokrat yang tidak menyukai sistem pemerintahan feodalisme. Akibatnya, timbullah ketegangan antara Raffles dengan Keraton Yogyakarta. Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles menilai Sri Sultan Hamengkubuwono II dan Sunan Surakarta tidak menaati Perjanjian Tuntang yang isinya merupakan penyerahan pemerintah Hindia Belanda kepada Inggris. 

Sebagai tindak lanjut dari ketegangan itu, Raffles menurunkan paksa Sri Sultan Hamengkubuwono II dan kemudian mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono III sebagai penggantinya. Pada tahun 1813, Raffles juga menyerahkan sebagian wilayah Kesultanan Yogyakarta kepada Pangeran Notokusumo bergelar Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman. 

Pada akhirnya, Kerajaan Mataram sebagai penerus Kerajaan Islam Demak ini pun terbagi menjadi empat kerajaan kecil, yaitu:
  1. Kasunanan Surakarta.
  2. Kesultanan Yogyakarta.
  3. Kadipaten Mangkunegaran.
  4. Kadipaten Paku Alaman. 


Ad by Adsterra