Selain usaha untuk memperjuangkan kejayaan kerajaan, raja-raja Mataram Islam juga menaruh perhatian besar pada bidang kebudayaan. Pada masa ini, berkembang kebudayaan kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan asli Jawa dengan kebudayaan Islam. Salah satu yang cukup populer bahkan masih dilestarikan hingga saat ini yaitu upacara Grebeg. Selain itu, bidang lain termasuk seni dan kesusastraan juga turut dikembangkan pada masa kejayaan Mataram Islam ini.
ilustrasi |
Raja Mataram pertama, Panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Selanjutnya, raja kedua Mas Jolang yang bergelar Panembahan Seda ing Krapyak juga berjasa dengan usahanya menyusun sejarah negeri Demak. Pada masa pemerintahan Mas Jolang juga ditulis beberapa kitab suluk seperti Suluk Wujil (1607) yang berisi wejangan Sunan Bonang kepada abdi raja Majapahit bernama Wujil dan Serat Nitisruti (1612) yang digubah oleh Pangeran Karanggayam.
Pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Agung, bidang kebudayaan juga meraih kejayaannya. Ilmu pengetahuan dan kesenian berkembang pesat termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri ikut andil dengan mengarang kitab berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab Filsafat kehidupan dan kenegaraan. Ia juga menulis kitab Surya Alam berisi undang-undang pada masa Kerajaan Mataram yang merupakan hasil dari perpaduan budaya Islam dengan adat Jawa.
Sedangkan kitab serat Nitipraja yang digubah Sultan Agung pada tahun 1641 berisi tentang ajaran moral agar tatanan masyarakat dan negara dapat berjalan harmonis. Kitab-kitab lain yang ditulis pada masa ini yaitu serat Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata. Kitab-kitab tersebut berisi tentang cara membangun negara yang baik, ajaran tentang kepemimpinan, dan ajaran-ajaran tentang budi pekerti yang baik.
Dalam bidang tulisan, Sultan Agung tetap mempertahankan tulisan jawa dan tidak digantikan dengan tulisan Arab, sehingga dalam penulisan babad misalnya dilakukan dengan tulisan jawa. Meski begitu, sering juga ditemukan istilah-istilah Islam dengan gaya Jawa seperti kata sarak (syara'), syarengat (syariah), pekih (fiqih), kadis (hadits), Ngusman (Utsman), Kasan (Hasan), Kusen (Husein), dan lain sebagainya. Selain itu, Sultan Agung juga menaruh minat terhadap pengembangan bahasa Jawa di antaranya yaitu memerintahkan untuk menyusun tataran (unggah-ungguhing) bahasa ngoko-krama. Unggah-ungguhing basa ini dikembangkan oleh pujangga keraton.
Pada masa Paku Buwono II, terdapat seorang pujangga bernama Yasadipura I (1729-1803). Yasadipura I dipandang sebagai sastrawan besar Jawa pada saat itu. Ia menulis empat buku klasik yang disadur dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), yakni Serat Rama, Serat Bharatayudha, Serat Mintaraga, serta Arjuna Sastrabahu. Selain itu, Yasadipura I juga menyadur sastra Melayu seperti Hikayat Amir Hamzah yang digubah menjadi Serat Menak. Ia pun menerjemahkan kitab Dewa Ruci dan Serat Nitisastra Kakawin. Untuk kepentingan Kasultanan Surakarta, ia juga menerjemahkan Taj as-Salatin ke dalam bahasa Jawa menjadi Serat Tajussalatin dan Anbiya. Yasadipura I juga menulis kitab sejarah seperti Serat Cebolek dan Babad Giyanti.
Setelah Yasadipura I wafat, putranya yaitu Yasadipura II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pujangga utama Kasunanan Surakarta. Yasadipura II juga sangat berjasa dalam kepustakaan Jawa. Beberapa Karya gubahan Yasadipura II di antaranya yaitu Serat Wicara Keras, Kitab Darmasonya Sekar Macapat dan Jarwa, kitab Arjunasastra, Panitisastra, Serat Wicara Keras, Serat Centini, Serat Dewaruci Jarwa dan Sekar Macapat, Serat Sasana Sunu, dan lain-lain.
Setelah kerajaan Mataram pecah (baca: Sejarah Pecahnya Kerajaan Mataram Islam), Paku Buwono III yang menjadi Raja di Kasunanan Surakarta juga sangat aktif mengembangkan sastra dan budaya. Suasana pemerintahan yang kembali kondusif akibat terjadinya proses Palihan Negari (pembagian negara) membuat laju perkembangan sastra Jawa juga semakin pesat. Selain mengatur negara, Paku Buwono III juga dikenal produktif dalam menulis. Di antara karya-karyanya yaitu Serat Wiwaha Jarwa, Suluk Bayan Maot, Suluk Sasmitaning Cipta, dan Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat.
Selanjutnya, Pakubuwono IV yang berkuasa pada tahun 1788 - 1820 pun demikian adanya. Mewarisi darah kaprabon dan kapujanggan dari sang ayah, ia juga sangat produktif dan kreatif dalam dunia pena. Di antara karya-karya sastranya yaitu Serat Wulangreh, Serat Wulang Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla Mataram, Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sarana Prabu, dan Serat Polah Muna Muni.
Pujangga besar lainnya datang dari Kadipaten Mangkunegaran yaitu Adipati Mangkunegara IV yang hidup pada tahun 1811 - 1881 M. Tokoh ini juga memiliki banyak karya dalam bidang sastra di antaranya seperti Serat Wedhatama, Serat Warayagnya, Serat Wirawiyata, Serat Sriyatna, Serat Nayakawara, Serat Paliatma, Serat Paliwara, Serat Palimarma, Serat Salokatama, Serat Darmalaksita, Serat Tripama, dan Serat Yogatama.
Pujangga terakhir yaitu Ronggowarsito, sastrawan istana Surakarta yang sangat masyhur, bahkan mendapat gelar kehormatan sebagai pujangga penutup. Cucu dari Yasadipura II ini juga memiliki darah kapujanggan tulen yang sangat mahir dalam dunia sastra. Ada sekitar 50 lebih judul karyanya, di antaranya yaitu Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Paramayoga, Serat Pustaka Raja, Suluk Saloka Jiwa, Serat Supanalaya, Serat Pamoring Kawula Gusti, Wheda Raga, Wheda Jatmoko, Serat Jaka Lodhang, Suluk Suksma Lelana, dan lain-lain. (Baca: Biografi Ronggowarsito, Pujangga Besar Tanah Jawa).