Ada yang bilang bahwa Islam nusantara berwajah satu namun kaya warna (corak). Ia memiliki akar kultural tersendiri yang beda dengan Islam di negara-negara lain. Islam Indonesia telah berhasil menyandingkan diri atau berdialog dengan kearifan lokal (local wisdom). Ia melebur menjadi satu, menjadi entitas tunggal yang kaya kultur, plural, dan warna-warni. Perpaduan itulah yang kemudian menjadi sebuah harmoni baru bagi terciptanya tatanan budaya kultural di Indonesia.
via republika.co.id |
Menurut KH. Tholchah Hasan (Menteri Agama RI era Gus Dur), Islam di Indonesia mengalami inovasi pesat akibat perjumpaan legal dengan perkembangan zaman serta varian-variannya juga bervariasi. Warna-warni Islam itu terjadi karena peran akal (rasio) ketika menginterpretasikan suatu teks agama. Selain itu, ada dari penafsiran (liar) yang mereka mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Dari sinilah Islam di Indonesia seolah-olah menimbulkan corak dan warna-warni yang beragam.
Masih menurut KH. Tolchah Hasan, ada lima kategori yang mempengaruhi wajah Islam Indonesia.
Pertama, karena faktor geografis, demografis, dan multikultur. Faktor ini sejatinya lumrah menjadi penyebab dalam hal perbedaan pandangan. Hal ini dikarenakan, dalam suatu kondisi atau lingkungan tertentu, pemikiran keagamaan dapat terbentuk lewat alam atau lingkungan. Sebut saja misalnya, orang pesisir yang berwatak keras, temperamental dan terkadang mudah emosional. Kondisi alam pesisir yang panas dan gersang setidaknya menuntut warganya untuk bekerja keras memenuhi hajat hidupnya di tengah terik matahari yang begitu menyengat kulit. Begitu juga ketika mereka menjalankan doktrin agama.
Kedua, proses akulturasi dan inkulturasi. Ada anggapan bahwa agama Hindu, Budha dan Islam datang ke Indonesia secara damai dan secara bersamaan. Agama-agama itu tidak hanya membawa misi agama, tetapi juga disertai bentangan pada ranah budaya. Mereka terlibat dalam suatu keakraban untuk saling bertukar budaya sehingga menimbulkan mozaik dan warna-warni keberagaman masing-masing.
Ketiga, karena ada ragam penafsiran teks yang skriptural. Perbedaan penafsiran dari berbagai masa juga menjadi aneka mozaik keberagaman beragama.
Keempat, kondisi sosial politik domestik (masalah keadilan dan kesejahteraan).
Kelima, arus globalisasi dan pengaruh sosio-kulturnya. Meski mempunyai efek samping yang mengerikan (materialistis, individualis, dan hedonis), kelahiran globalisasi juga membentuk masyarakat yang terbuka dan masyarakat ilmiah yang kritis dan rasionalis.
Jatidiri Islam Nusantara
Islam Indonesia hadir dari semangat kebangsaan yang begitu kuat, serta dipupuk ke dalam relung kehidupan masyarakat lokal. Tidak dipungkiri, lewat jalur agama, masyarakat mudah terbius untuk berjuang mengekspresikan rasa cinta mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, Islam datang ke Indonesia juga telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan, sehingga ajaran Islam diperagakan masyarakat tanpa adanya konflik agama-budaya. Hal ini lantas memberi kesan baru bahwa Islam Indonesia telah lama hadir dan berdialektika dengan masyarakat lokal. Ajaran Islam yang menjamin kebebasan beragama, menanamkan nilai kasih sayang kepada sesama makhluk Tuhan menjadi ciri bagaimana Islam itu diterima dengan baik.
Selain itu, Islam Nusantara juga telah membentuk kepribadian masyarakat Muslim Indonesia yang secara umum memiliki sikap sangat toleran, hidup rukun dengan agama lain, menerima dasar pancasila, menghargai kebudayaan lokal, dan memiliki ikatan sosial yang kuat.
Hanya sayangnya, disesalkan adanya 'klaim doktrinal' ketika Islam Indonesia itu kemudian diklaim milik kelompok tertentu yang merasa paling benar, sampai dengan mudahnya mengkafirkan kelompok yang lain. Dengan dalih tertentu, mereka merasa berhak untuk menindas kelompok lain yang dinilai berseberangan dengan pendapat mereka. Gema takbir yang menjadi simbol Islam pun justru menjadi lebih dekat dengan slogan peperangan. Inilah yang bisa membahayakan bagi keberagaman Islam di Indonesia.
Meskipun begitu, secara kultural tampak bahwa identitas Islam Indonesia masih eksis dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia. Masih bercokol kuat organisasi-organisasi keagamaan yang secara intens mengawal eksistensi model dan corak Islam Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al Washiliyyah, Mathaliul Anwar, Nahdlatul Wathan, Persis, Al Irsyad, Perti, dan lain-lain merupakan bagian dari kekayaan intelektual Islam Indonesia yang cukup berperan dalam menjaga corak Islam Indonesia agar tetap lestari sebagaimana mestinya. (artikel dikutip sebagian dari tulisan Nazar Nurdin dalam Majalah Justisia edisi 37 TH XXII 2011).
Meskipun begitu, secara kultural tampak bahwa identitas Islam Indonesia masih eksis dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia. Masih bercokol kuat organisasi-organisasi keagamaan yang secara intens mengawal eksistensi model dan corak Islam Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al Washiliyyah, Mathaliul Anwar, Nahdlatul Wathan, Persis, Al Irsyad, Perti, dan lain-lain merupakan bagian dari kekayaan intelektual Islam Indonesia yang cukup berperan dalam menjaga corak Islam Indonesia agar tetap lestari sebagaimana mestinya. (artikel dikutip sebagian dari tulisan Nazar Nurdin dalam Majalah Justisia edisi 37 TH XXII 2011).