Skip to main content

Sejarah Perlawanan Rakyat Bali (Perang Puputan: 1846 - 1908)

Selain perang puputan margarana pimpinan I Gusti Ngurah Rai yang terjadi pada masa era kemerdekaan (20 November 1946), upaya rakyat Bali dalam menolak segala bentuk penjajahan kolonial telah terjadi dari seratus tahun sebelumnya, yakni sejak tahun 1846. Raja-raja Bali dan rakyatnya kompak dalam keputusannya untuk melawan praktek imperialisme meski harus berjuang mati-matian sampai nyawa taruhannya (puputan). 

monumen puputan Badung
via punapibali.com

Puputan merupakan istilah yang berasal dari bahasa Bali "puput", artinya tanggal, putus, habis, atau mati. Jadi, perang puputan merupakan perlawanan rakyat Bali dalam upaya mereka mengusir para penjajah yang mencoba menguasai wilayah pulau dewata. Dinamakan puputan karena perang-perang ini merupakan pertempuran mati-matian sampai titik darah penghabisan daripada harus menyerah kepada musuh (penjajah).

Pada masa lalu, ada sebuah peraturan di Bali bahwa kerajaan-kerajaan di daerah pantai memiliki hak untuk menjalankan hukum tawan karang. Menurut hukum tersebut, raja Bali berhak untuk merampas muatan kapal yang terdampar di pantai wilayah kerajaannya. Sewaktu Belanda masuk wilayah Nusantara, Bali masih merupakan kerajaan-kerajaan merdeka. Saat itu, Bali juga melakukan perdagangan, terutama perdagangan budak dengan kerajaan-kerajaan Bali.

Dalam perdagangannya itu, telah berulang kali kapal Belanda terdampar di salah satu pantai dari kerajaan Bali dan muatannya dirampas oleh raja. Belanda telah mengajukan protes dan mengadakan perjanjian-perjanjian yang menyangkut pembebasan kapal-kapal mereka. Akan tetapi, raja-raja Bali sering tidak pernah mengindahkannya.

Di antara raja-raja Bali yang pernah diajak untuk mengadakan perjanjian pada tahun 1841 itu adalah raja-raja Klungkung, Buleleng, Badung, dan Karangasem. Dalam perjanjian itu, sesungguhnya raja-raja Bali telah dipaksa untuk mengakui kedaulatan pemerintah Belanda, dan mengijinkan pengibaran belanda di kerajaan mereka. Akan tetapi, kesemuanya itu tidak dilaksanakan oleh raja-raja Bali.

Merasa tidak dipedulikan, Belanda kemudian memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha untuk menundukkan raja-raja Bali. Pada tahun 1846, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya ke daerah Buleleng. Seorang patih kerajaan Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik menyiapkan pasukan untuk menghadapi kedatangan Belanda.

Sebelum melakukan serangan, pihak Belanda mengeluarkan ultimatum yang isinya yaitu agar Buleleng mengakui kekuasaan Belanda, hak tawan karang dihapus, dan memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda. Karena ultimatum tidak diindahkan, Belanda akhirnya menyerbu Buleleng. Sementara itu, Karangasem memihak Buleleng sehingga berkobarlah perang Belanda - Bali. Dalam menghadapi perlawanan rakyat Bali ini, Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi secara besar-besaran sebanyak tiga kali.

Ekspedisi pertama dilakukan pada tahun 1836 dengan kekuatan 1700 tentara. Serangan pertama ini gagal menundukkan rakyat Bali. Belanda mencoba mengajak berunding, tetapi ternyata hanya taktik untuk melakukan penyerbuan kembali. Sementara itu, pasukan Bali di bawah komando I Gusti Ketut Jelantik membangun benteng di Jagaraga dan mulai menyerang Belanda.

Karena serangan tersebut, Belanda kemudian melakukan ekspedisi keduanya pada tahun 1848. Pertempuran berkobar hebat di benteng tersebut. Dalam pertempuran itu, Belanda kehilangan 5 perwiranya dan 75 prajuritnya. Namun benteng jagaraga gagal dikuasai. Setelah bala bantuan datang dari Batavia, Belanda kembali menyerang. Namun serangan ini juga dapat ditangkis.

Pada tahun 1849, Belanda melakukan ekspedisi ketiganya dengan kekuatan lebih dari empat ribu prajurit dengan tiga ribu pasukan tenaga pengangkut. Pasukan besar-besaran tersebut disambut dengan tiga ribu prajurit Bali dengan senjata tradisional. Sedangkan pasukan tambahan ada 10-20 ribu orang dari Buleleng dan Karangasem. Pertempuran meletus di sekitar benteng Jagaraga.

Pertempuran berlangsung beberapa hari sehingga kedua belah pihak mengalami kelelahan. Karena kalah dalam persenjataan, pasukan Bali mengundurkan diri dari benteng Jagaraga. Dengan demikian, benteng tersebut jatuh ke tangan Belanda. Raja Buleleng dan I Gusti Ketut Jelantik akhirnya terbunuh dalam upaya mempertahankan diri dari Belanda. Sejak itu, perlawanan pindah ke daerah Karangasem dan Klungkung.

Pada tahun 1904, sebuah kapal dagang Cina terdampar di pantai timur Badung. Kapal tersebut dirampas oleh penduduk di situ. Pemilik kapal lalu melapor kepada Belanda. Kerajaan Badung dipersalahkan oleh Gubernemen dan disuruh membayar denda. Perintah itu ditolak oleh raja Badung. Sikap raja Badung itu didukung oleh raja-raja Bali sehingga pecah kembali perang Bali - Belanda pada tahun 1906.

Dengan peralatan perang modern, Belanda segera membombardir daerah kekuasaan kerajaan Badung sejak pagi buta. Ibukota Denpasar pun berhasil direbut Belanda. Akibatnya, raja-raja Bali kemudian melakukan puputan, yaitu melawan habis-habisan dengan diikuti sanak saudaranya, para bangsawan lainnya dan kaum putri, bersenjata tombak dan keris keramat. Mereka memilih gugur di medan perang daripada menyerah kepada Belanda. 

Selanjutnya, pada tahun 1908 Belanda kemudian menyerang kerajaan Klungkung. Intevensi ini terjadi akibat pemberontakan penduduk Bali terhadap upaya Belanda menerapkan monopoli opium yang menguntungkan Belanda. Raja Klungkung dibantu oleh seluruh kaum bangsawan, wanita dan anak-anak mengadakan puputan sewaktu diserang oleh Belanda. Setelah Klungkung diduduki Belanda, maka berarti seluruh Bali dikuasai oleh pemerintah Belanda.


Ad by Adsterra