Skip to main content

Bagaimana Idealnya Penegakkan Hukum Bagi Kaum Miskin?

putusan hakim
ilustrasi via okezone.com

Berulang kali kita disuguhi pemandangan aneh terkait penegakkan hukum yang kata orang seperti macan ompong ketika dihadapkan pada orang yang punya kuasa namun tampak sangat tajam ketika dihadapkan pada kaum proletar (kaum miskin). Dahulu juga sempat viral ketika seorang nenek (Mbok Minah) di Banyumas divonis hukuman 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan selama 3 bulan karena kedapatan mencuri tiga biji kakau untuk bibit guna ditanamkan di rumahnya.

Ada banyak kasus serupa yang pernah terjadi di berbagai daerah dimana kebanyakan objek yang menjadi sasaran hukum ternyata dari kaum miskin. Kemiskinan memang menjadi salah satu faktor seseorang terpaksa melanggar hukum (misal: mencuri) untuk menghidupi diri atau pun keluarganya. Namun mengapa kasus yang membelenggu rakyat miskin dapat dikatakan begitu mudah untuk dipidanakan. Bagaimanakah idealnya hukum itu ditegakkan?. Apakah dalam hukum positif Indonesia juga dikenal istilah pembatasan dalam pemidanaan mengingat dalam hukum Islam ukuran pencurian diukur dengan nisab?.

Berkaitan dengan hal ini, kebetulan saya menemukan sebuah artikel menarik dari tulisan Drs. Syaikhu, M.Ag, salah seorang Dosen saya sewaktu kuliah tentang permasalahan ini. Artikel ini saya kutip dari majalah Justisia edisi 35 TH. XX 2010. Karena pembahasannya yang masih relevan, saya ingin membagikannya pada postingan kali ini untuk menambah pengetahuan kita.

Maraknya putusan pengadilan yang menimpa kaum lemah memang cukup memprihatinkan. Betapa tidak, banyak kasus hukum yang menimpa rakyat kecil begitu mudahnya dipidanakan. Sementara di sisi lain, banyak kasus menimpa para pejabat atau para konglomerat, namun nampaknya bebas dari jeratan hukum. Memang diakui bahwa penegakkan hukum di negeri ini semestinya masih banyak yang harus dibenahi agar semakin memberikan rasa keadilan bagi semua golongan.

Untuk mewujudkan rasa keadilan di dalam penegakan hukum di Indonesia, tentunya bagi tiap penegak hukum harus memiliki value atau nilai moralitas, sehingga ketika akan melakukan sebuah tindakan hukum tentunya tidak hanya sebelah mata berdasarkan kebutuhan legal formal saja. Tentunya, di situ ada sebuah aspek yang cukup penting dalam ilmu hukum yakni moralitas (rasa keadilan).

Satu sisi, dalam teori ilmu hukum ada istilah interpretasi hukum, yakni sebuah teori pemahaman terhadap penafsiran hukum. Teori ini akan sangat bermanfaat guna mengantisipasi setiap persoalan yang muncul di masyarakat, dimana para penegak hukum dapat menggunakan teori interpretasi ini atau teori penafsiran hukum ini dengan penafsiran multi interdisipliner (kajian normatif, kajian adat dan kajian sosiologis). Dengan melakukan pendekatan penafsiran atau interpretasi hukum seperti itu, tentu di sini para penegak hukum mempunyai kesempatan untuk bisa menafsirkan suatu kasus hukum, kemudian dikorelasikan dengan UU yang berlaku.

Di samping itu, juga ada istilah teori legalisme dan teori free legalisme (Freie Rechtsbewegung). Teori legalisme intinya yaitu sebuah kasus hukum diputus melalui undang-undang yang sudah ada atau undang-undang yang berlaku bagi suatu negara (positif). Teori ini sangat berguna bagi penegak hukum dalam rangka mengambil suatu putusan sesuai dengan kasus yang ditangani. Tentunya, dalam hal ini penegak hukum menggunakan undang-undang sebagai landasan dalam putusan pengadilan.

Sedangkan, kalau misalnya ada kasus seperti pencurian tidak seberapa yang dilakukan oleh kaum miskin karena kelaparan atau terpaksa demi menyambung hidup, maka nampaknya hakim dapat memutuskan hal ini dengan menggunakan teori free legalisme. Teori ini digunakan untuk memahami suatu kasus lebih menggunakan kebebasan menafsirkan atau kebebasan berfikir tanpa berpatokan pada UU yang ada. Alangkah baik dan bijaksananya permasalahan seperti ini lebih berpatokan menggunakan teori sosiologis, dimana kasus-kasus seperti itu diputuskan tanpa diiringi oleh profect oriented (tanpa untuk menumpuk harta benda).

Adapun tentang batasan dalam pemidanaan tindak pidana pencurian, hukum positif kita tidak mengenal batasan seperti itu atau tidak ada ukuran banyak atau sedikitnya. Dalam tindak pidana pencurian, seseorang dianggap mencuri setelah mengambil barang atau harta milik orang lain. Jadi esensinya adalah mengambil hak orang, apakah itu banyak atau sedikit, baru atau sisa.

Tentunya, akan sangat terasa berbeda ketika ditinjau dari teori hukum Islam, dimana tindak pidana pencurian itu ada ukuran nisab. Bahkan, ketika pencurian dilakukan oleh orang miskin yang tujuannya tidak untuk profect oriented (menumpuk harta benda), hal itu pernah terjadi pada masa Khulafa' ar-Rasyidin dan sang pelaku diampuni oleh Khalifah Umar bin Khattab, karena Umar lebih cenderung melihat kasus itu pada sisi sosiologinya.

Memutuskan suatu perkara hukum bagi masing-masing orang dengan segala problematikanya memang bukanlah perkara mudah. Dalam koridor standar yang dipatuhi, para penegak hukum juga pastinya sudah semaksimal mungkin dalam memberikan keputusan yang seadil-adilnya berdasarkan ketentuan yang berlaku dan berbagai pertimbangan. Adanya pro dan kontra terhadap setiap keputusan hukum juga merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa terelakkan sehingga kita juga mesti bijak dalam menyikapinya. 

Jadi, hukum itu pada prinsipnya dibuat untuk diwujudkan dalam sebuah keadilan dan mencegah kezaliman. Keadilan baru bisa terwujud kadangkala dengan undang-undang. Juga tidak menutup kemungkinan melalui proses hukum di pengadilan, dan juga kadangkala muncul melalui pemikiran penegak hukum. Dengan demikian, diharapkan persoalan hukum yang menimpa kaum lemah seperti kasus Mbok Minah dan lain-lainnya itu tidak terjadi lagi. Dari kejadian-kejadian seperti ini semoga Indonesia tetap menjadi negara yang damai dan jauh dari penindasan kaum miskin.


Ad by Adsterra