Skip to main content

Sejarah Perlawanan Rakyat Palembang (1811-1822)

Meluasnya kolonialisme di bumi Nusantara telah menimbulkan kebencian yang meluas di kalangan rakyat Indonesia. Itulah sebabnya, banyak muncul perlawanan-perlawanan besar di seluruh wilayah Indonesia. Salah satunya yaitu perlawanan rakyat Palembang di bawah komando penguasa kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin II yang terjadi pada tahun 1811 hingga 1882 M.

Sultan Mahmud Badaruddin II

Kesultanan Palembang Darussalam adalah salah satu kerajaan Islam di Indonesia yang diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman pada tahun 1659 dan dihapuskan keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823. Kesultanan Palembang Darussalam mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin yang memerintah pada periode tahun 1776-1803.

Ketika Sultan Muhammad Bahauddin wafat, kedudukan penguasa Palembang kemudian digantikan oleh putranya yaitu Sultan Mahmud Badaruddin II. Pada masa pemerintahannya, sultan baru yang dikenal dengan kepribadian kuat dan berbakat ini beberapa kali memimpin pertempuran melawan imperialisme Inggris dan Belanda di tanah Palembang. Dengan gagah berani, ia dan rakyat Palembang berusaha sekuat tenaga untuk mengusir para penjajah di wilayahnya.

Runtuhnya VOC pada tahun 1799 membuat monopoli Belanda di Palembang tidak dapat dipertahankan. Akibatnya, krisis ekonomi yang dihadapi pemerintah Hindia Belanda di Palembang juga turut mempercepat peralihan kekuasaan ke tangan Inggris. Sebelum Jawa jatuh ke tangan Inggris, sudah ada kontak antara Inggris dengan Palembang. Raffles menulis surat kepada Sultan mahmud Badaruddin agar menyingkirkan Belanda dan untuk keperluan itu Inggris akan memberi bantuan militernya.

Tanpa memberikan tanggapan terhadap tawaran itu, loji Belanda diserang oleh pasukan Sultan mahmud Badaruddin. Loji kemudian diratakan dengan tanah untuk menghilangkan bekas-bekasnya. Untuk menghadapi segala kemungkinan serangan, maka di tempat-tempat strategis didirikan benteng pertahanan, di antaranya yaitu benteng Palembang yang dipasang ratusan meriam. Meski begitu, Palembang jatuh juga ke tangan ekspedisi Inggris di bawah pimpinan Gillespie pada tanggal 24 April 1812. Sultan sempat mengungsi ke pedalaman.

Setelah Inggris berhasil menduduki Palembang, pangeran Adipati Ahmad Najamudin, saudara sultan yang tidak loyal kepada kakaknya, mengadakan perjanjian dengan Inggris. Setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan pihak Inggris, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati Ahmad Najamudin diangkat menjadi Sultan Palembang dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Sedang Inggris memperoleh Bangka dan Belitung sebagai daerah kekuasaannya.

Sementara itu, Sultan Badaruddin membangun pertahanan kuat di hulu sungai Musi. Inggris melakukan serangan dibawah komando Kapten Robert Meares namun mengalami kegagalan, bahkan Meares sendiri tertembak dan akhirnya tewas dalam sebuah pertempuran di Buay Langu. Setelah serangan ekspedisi Inggris terhadap kubu itu gagal, pertahanan kemudian dipindahkan ke Muara Rawas. Oleh karena aksi militer tidak mampu menundukkan Sultan Badaruddin, maka Inggris kemudian menempuh jalan diplomasi dan mengirim Robinson untuk berunding.

Pada tanggal 29 Juni 1813, ditandatangani perjanjian yang menetapkan bahwa Sultan Badaruddin diakui lagi sebagai Sultan Palembang, sedang Pangeran Adipati Ahmad Najamudin diturunkan dari tahta. Akan tetapi tetap diberikan pengakuan kekuasaan Inggris atas Bangka dan Belitung. Sultan juga harus menanggung ongkos ekspedisi dan mengganti kerusakan benteng Belanda. Sedangkan putra Sultan perlu diamankan di Jawa.

Setelah perjanjian ditandatangani, pada tanggal 13 Juli 1813 Sultan tiba di Palembang dan kembali bertahta di kraton besar, sedang Najamudin pindah ke kraton lama. Dengan adanya campur tangan Inggris, maka pertentangan dalam kraton terus berlangsung. Dengan permainan politik Inggris ini, maka semakin mengurangi kekuasaan Sultan dan kontrak semakin diperberat.

Pada tanggal 4 Agustus 1813, Raffles mengeluarkan proklamasi yang berisi tentang restorasi kedudukan Ahmad Najamudin sebagai Sultan. Meskipun Badaruddin tidak menduduki tahta lagi tetapi tetap berwibawa dan besar pengaruhnya di kalangan rakyat. Kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia pada tahun 1816 mengakibatkan kondisi politik berbalik. Sultan Badaruddin kembali berkuasa.

Pada saat itu tokoh yang dipercaya Belanda untuk menyelesaikan masalah Palembang adalah Muntinghe. Ia menyodorkan kontrak kepada Badaruddin maupun Najamudin pada 20 - 24 Juni 1818. Berdasarkan kontrak tersebut, Sultan Badaruddin direstorasi sebagai Sultan Palembang, sedang Najamudin diturunkan dari tahta. Walaupun demikian, masing-masing mempunyai daerah kekuasaan yang dapat dipungut hasilnya sebagai sarana penghidupannya. Sedangkan sebagian besar daerah Palembang jatuh ke tangan Belanda.

Pangeran Najamudin yang disingkirkan oleh pemerintah Belanda berusaha memperoleh bantuan Inggris. Namun usaha Raffles untuk memberi bantuan yang diharapkan itu gagal, sehingga akhirnya Najamudin dianggap berbahaya dan diamankan di Batavia.

Sementara itu orang-orang Minangkabau dan Melayu yang menjadi pengikut Badaruddin sewaktu dia mengungsi ke hulu sungai Musi melakukan perlawanan terhadap ekspedisi Belanda. Belanda pun menuntut Sultan Badaruddin untuk memadamkan gerakan tersebut, dan segera menyerahkan putranya untuk dipindahkan ke Batavia.

Karena tuntutan tersebut sebagai paksaan, maka Sultan menolak, sehingga perundingan mengalami jalan buntu. Kapal-kapal Belanda yang ada di Palembang ditembaki oleh pasukan Sultan. Setelah terjadi pertempuran tiga hari, Muntinghe beserta kapal-kapalnya terpaksa meninggalkan Palembang mengundurkan diri ke Bangka. Kemenangan Sultan Badaruddin tersebut tersebut pun menggugah daerah-daerah lain untuk melawan Belanda sehingga pertempuran menjalar ke Bangka, Lingga, dan Riau.

Sebelum mengirim tentara ke Palembang, Belanda mengangkat Pangeran Prabu Anom (putra Najamudin) sebagai Sultan Palembang. Dengan dukungan sultan baru itu, Belanda mulai menyerang pertahanan di Plaju, tetapi berhasil dipukul mundur oleh pasukan Badaruddin. Dalam serangan yang kedua, Plaju direbut sehingga jalan ke Palembang terbuka bagi angkatan perang Belanda.

Pada tanggal 1 Juli 1821, kraton diduduki oleh Belanda. Sultan Badaruddin mengungsi ke hulu sungai Musi untuk melanjutkan perlawanan. Setelah bertahan selama delapan bulan, ia dan keluarganya akhirnya ditangkap kemudian diasingkan ke Ternate dan hidup hingga ajal menjemputnya pada tanggal 26 September 1852. 

Atas jasa dan perjuangannya, Pemerintah RI menetapkan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai Pahlawan Nasional asal Palembang dan namanya dipakai sebagai nama Bandara Internasional Palembang. Tidak hanya itu saja, sosoknya pun diabadikan dalam sebuah gambar yang dapat ditemukan pada selembar uang pecahan rupiah bernilai Rp. 10.000.


Ad by Adsterra