Sejarah mencatat sosok bernama H.O.S Tjokroaminoto sebagai salah seorang guru bangsa, guru bagi para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia, sekaligus salah satu pelopor pergerakan di indonesia ketika menjadi pimpinan organisasi pertama di Indonesia yaitu Sarekat Islam (SI). Pada tahun 2015 lalu, sebuah film dengan judul Guru Bangsa: Tjokroaminoto juga telah dibuat dengan mengangkat sebagian kisah dari sosok besar ini.
Semasa kecil, ia yang akrab dipanggil Oemar Said mulai mengenyam pendidikannya di sekolah Belanda yang khusus diperuntukkan untuk orang Belanda dan para pejabat pemerintahan. Oemar Said menyelesaikan pendidikannya di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren), sekolah Administrasi Pemerintahan yang dikenal sebagai pencetak para pegawai-pegawai pemerintahan kolonial Belanda di Magelang pada tahun 1902.
Setelah lulus, Oemar Said kemudian bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi selama sekitar tiga tahun. Selanjutnya, ia pindah ke Surabaya pada tahun 1906 dan memutuskan untuk menetap di sana. Di Surabaya, ia bekerja sebagai juru tulis di firma Inggris Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kejuruan Burgerlijke Avondschool (Sekolah Teknik Mesin). Tahun berikutnya, ia kemudian bekerja sebagai seorang teknisi yang kemudian diangkat sebagai ahli kimia di pabrik gula di wilayah Rogojampi, Jawa timur. Sembari bekerja, HOS Tjokroaminoto juga rajin menulis artikel pada harian Bintang Surabaya.
Pelopor Pergerakan dan Guru Bagi Para Pemimpin Besar Indonesia
Bergelar De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota", Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia lewat organisasi Sarekat Islam yang dipimpinnya. Sarekat Islam sendiri pada mulanya merupakan sebuah perkumpulan para pedagang Islam bernama Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi di kota Solo pada tahun 1905. Organisasi ini didirikan dengan tujuan menentang politik Belanda yang membiarkan banyaknya pedagang asing yang masuk ke Nusantara sehingga kemudian menguasai sendi perekonomian rakyat kala itu.
Setelah HOS Tjokroaminoto bergabung, pada tanggal 18 September 1912, SDI kemudian diubah menjadi SI (Sarekat Islam) dan HOS Tjokroaminoto diangkat sebagai ketuanya. Pusat perjuangan Sarekat Islam kemudian juga dipindahkan dari kota Solo ke kota Surabaya. Sejak saat itu, lingkup perjuangan SI yang awalnya hanya di bidang perdagangan pun sudah merambah ke panggung politik yang menghendaki persatuan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia sebagai satu bangsa.
Sebagai sosok berpengaruh, HOS Tjokroaminoto telah menjadi guru bagi para tokoh-tokoh pergerakan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Ia juga merupakan guru bagi nasionalisme dan aktivis pergerakan di Indonesia. Rumahnya menjadi kost bagi para pelajar yang melanjutkan sekolah di Surabaya. Di antara para pelajar tersebut di kemudian hari tercatat sebagai tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno, Semaun, Alimin, Musso, dan S. M. Kartosoewirjo. Tokoh-tokoh tersebut adalah pencetus tiga ideologi politik berbeda yang kelak dianut oleh bangsa Indonesia.
Selain itu, rumah HOS Tjokroaminoto juga dipergunakan sebagai tempat berdiskusi berbagai hal yang berkaitan dengan politik. Di rumah itu juga, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Mas Mansyur sering bertukar pikiran. Bisa dikatakan, rumah Tjokroaminoto merupakan tempat berkumpulnya para tokoh-tokoh pergerakan, baik nasionalis, agama, maupun tokoh kiri. Meskipun berbeda ideologi, tujuan mereka semua satu, yakni kemerdekaan Indonesia. Dari sebuah ruangan sederhana di rumah Tjokroaminoto itulah, berbagai ide-ide awal Indonesia merdeka dicetuskan dan didiskusikan.
Soekarno, Kartosuwiryo, Musso, Alimin, Darsono, Semaun hingga Tan Malaka menganggap H.O.S Tjokroaminoto sebagai guru besar mereka. Di rumahnya, mereka akrab satu sama lain dan belajar banyak mengenai semangat kebangsaan dari HOS Tjokroaminoto. Maka tidak heran jika di kemudian hari pertarungan antara kelompok Nasionalisme yang dipimpin oleh Soekarno dan kelompok Islam yang dipimpin oleh Kartosoewirjo serta komunis yang dipimpin oleh Musso dan Alimin merupakan pertarungan antara murid-murid Tjokroaminoto.
HOS Tjokroaminoto menikah dengan Raden Ajeng Soeharsikin dan dikaruniai putra-putri bernama Siti Oetari, Oetaryo Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, Siti Islamiyah, dan Ahmad Suyud. Setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin, HOS Tjokroaminoto meninggal dunia pada 17 Desember 1934 dan jasadnya dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa dan perjuangannya, H.O.S Tjokroaminoto dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
Bergelar De Ongekroonde van Java atau "Raja Jawa Tanpa Mahkota", Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di indonesia lewat organisasi Sarekat Islam yang dipimpinnya. Sarekat Islam sendiri pada mulanya merupakan sebuah perkumpulan para pedagang Islam bernama Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhudi di kota Solo pada tahun 1905. Organisasi ini didirikan dengan tujuan menentang politik Belanda yang membiarkan banyaknya pedagang asing yang masuk ke Nusantara sehingga kemudian menguasai sendi perekonomian rakyat kala itu.
Setelah HOS Tjokroaminoto bergabung, pada tanggal 18 September 1912, SDI kemudian diubah menjadi SI (Sarekat Islam) dan HOS Tjokroaminoto diangkat sebagai ketuanya. Pusat perjuangan Sarekat Islam kemudian juga dipindahkan dari kota Solo ke kota Surabaya. Sejak saat itu, lingkup perjuangan SI yang awalnya hanya di bidang perdagangan pun sudah merambah ke panggung politik yang menghendaki persatuan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia sebagai satu bangsa.
Sebagai sosok berpengaruh, HOS Tjokroaminoto telah menjadi guru bagi para tokoh-tokoh pergerakan dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Ia juga merupakan guru bagi nasionalisme dan aktivis pergerakan di Indonesia. Rumahnya menjadi kost bagi para pelajar yang melanjutkan sekolah di Surabaya. Di antara para pelajar tersebut di kemudian hari tercatat sebagai tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno, Semaun, Alimin, Musso, dan S. M. Kartosoewirjo. Tokoh-tokoh tersebut adalah pencetus tiga ideologi politik berbeda yang kelak dianut oleh bangsa Indonesia.
Selain itu, rumah HOS Tjokroaminoto juga dipergunakan sebagai tempat berdiskusi berbagai hal yang berkaitan dengan politik. Di rumah itu juga, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Mas Mansyur sering bertukar pikiran. Bisa dikatakan, rumah Tjokroaminoto merupakan tempat berkumpulnya para tokoh-tokoh pergerakan, baik nasionalis, agama, maupun tokoh kiri. Meskipun berbeda ideologi, tujuan mereka semua satu, yakni kemerdekaan Indonesia. Dari sebuah ruangan sederhana di rumah Tjokroaminoto itulah, berbagai ide-ide awal Indonesia merdeka dicetuskan dan didiskusikan.
Soekarno, Kartosuwiryo, Musso, Alimin, Darsono, Semaun hingga Tan Malaka menganggap H.O.S Tjokroaminoto sebagai guru besar mereka. Di rumahnya, mereka akrab satu sama lain dan belajar banyak mengenai semangat kebangsaan dari HOS Tjokroaminoto. Maka tidak heran jika di kemudian hari pertarungan antara kelompok Nasionalisme yang dipimpin oleh Soekarno dan kelompok Islam yang dipimpin oleh Kartosoewirjo serta komunis yang dipimpin oleh Musso dan Alimin merupakan pertarungan antara murid-murid Tjokroaminoto.
HOS Tjokroaminoto menikah dengan Raden Ajeng Soeharsikin dan dikaruniai putra-putri bernama Siti Oetari, Oetaryo Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, Siti Islamiyah, dan Ahmad Suyud. Setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin, HOS Tjokroaminoto meninggal dunia pada 17 Desember 1934 dan jasadnya dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa dan perjuangannya, H.O.S Tjokroaminoto dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.