Skip to main content

Kisah Asal Mula Banyumanik dan Watugong

Selama beberapa tahun tinggal di kota Semarang, tentu ada beberapa daerah atau wilayah di sekitar kota Semarang yang pernah saya singgahi bersama kawan-kawan seperjuangan. Entah itu teman semasa kuliah atau teman sesama santri sewaktu mondok di salah satu pesantren di Semarang. Berkaitan dengan hal ini, pada postingan kali ini saya ingin berbagi sebuah cerita rakyat mengenai asal mula dua daerah di kota Semarang yakni Banyumanik dan Watugong.

Jika diperhatikan, asal nama-nama daerah di sekitar wilayah Semarang sebetulnya banyak yang berkaitan dengan kisah para wali terutama Sunan Kalijaga saat menyebarkan agama Islam di tanah jawa. Mungkin sebagian pembaca ada yang sudah familiar dengan wilayah seperti Jatingaleh atau wisata goa Kreo yang berkaitan dengan kisah Sunan Kalijaga saat mencari sebatang pohon jati untuk dijadikan sebagai tiang masjid Agung Demak. 

Selain Sunan Kalijaga, salah seorang muridnya, Sunan Bayat atau Ki Ageng Pandanaran (Bupati pertama Semarang) juga turut berperan dalam terciptanya beberapa nama wilayah di sekitar Semarang. Sunan Pandanaran adalah tokoh penyebar agama Islam di tanah jawa yang namanya sering disebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita rakyat. Beliau juga terkait dengan sejarah Kota Semarang termasuk dalam penciptaan nama-nama suatu daerah di sekitar wilayah Semarang. Dua di antaranya yaitu Banyumanik dan Watugong. 

banyumanik
tol Banyumanik via semarangpedia.com

Banyumanik adalah nama sebuah kecamatan di kota Semarang yang kini menjadi pusat pertumbuhan baru di Semarang bagian atas (selatan). Sementara Watugong adalah sebuah kawasan yang berada di jalanan lintas Semarang dan Ungaran, tepatnya berada di kelurahan Pudak Payung, Banyumanik. Kawasan ini juga terkenal dengan keberadaan Vihara Budhagaya Watugong yang merupakan tempat ibadah bagi umat Budha. Bagaimana kisah awal mula nama dua wilayah ini?, berikut kisahnya untuk anda. 

Pada suatu ketika, Ki Ageng Pandanaran dan istrinya, Nyi Ageng Pandanaran sedang dalam suatu urusan untuk bepergian dari Semarang menuju Tembayat, Klaten. Bagi Nyi Ageng Pandanaran, perjalanan dengan jalan kaki tersebut terasa sangat melelahkan sehingga berkali-kali ia minta beristirahat kepada suaminya. 

Sedang enak-enak istirahat, tiba-tiba datang gerombolan begal. Gerombolan begal tersebut mendekati Nyi Ageng Pandanaran dan meminta semua barang berharga yang dipakai dan dibawa oleh Nyi Ageng. Dengan terpaksa, Nyi Ageng pun menyerahkan barang-barang berharganya dengan hati susah dan kehilangan. Ki Ageng Pandanaran yang melihat hal itu hanya diam saja, karena sebelumnya beliau juga sudah berkali-kali mengingatkan Nyi Ageng agar tidak membawa barang berharga selama perjalanan tersebut. 

Setelah rasal lelah hilang, Ki Ageng dan Nyi Ageng pun kembali melanjutkan perjalanannya. Belum begitu lama berjalan, Nyi Ageng kembali minta istirahat karena merasa sudah tidak kuat lagi untuk melangkahkan kakinya. Pada akhirnya, Nyi Ageng pun menangis. Air matanya jatuh ke tanah dan kemudian menjadi sumber air. Sumber air tersebut luasnya sekuali. Airnya bening seperti manik-manik (permata). Dengan sesenggukan, Nyi Ageng lantas berucap, "Besok saat majunya zaman, desa ini saya namakan Banyumanik". 

Versi lain juga mengatakan bahwa nama Banyumanik konon juga berasal dari tetesan air di atas daun talas yang semula dikira manik-manik (permata) oleh Nyi Ageng Pandanaran karena tampak berkilauan saat terkena sinar matahari. Dari peristiwa air yang tampak seperti manik-manik ini kemudian terciptalah juga nama Banyumanik.

Saat sedang beristirahat, kedua orang tersebut melihat keadaan di sekitar kiri-kanan tempat tersebut dan memandang sebuah gunung yang kemudian diberi nama Gunung Manik Maya. Setelah itu, Ki Ageng Pandanaran dan istrinya kembali meneruskan perjalanannya. Di tengah-tengah perjalanan, Nyi Ageng kembali berhenti seraya berkata, "sebentar ki, aku mendengar suara gendhing gambir sawit, coba dengarkan!. 

Setelah mencari tahu sumber suara akhirnya diketahui bahwa suara gendhing tersebut berasal dari rombongan ledhek yang melewati tempat tersebut. Setelah rombongan ledhek lewat, Nyi Ageng berucap, "Besok saat tempat ini sudah ramai supaya dinamakan Warung Gambir Sawit". Setelah berkata demikian, suara gendhing pun sudah tidak terdengar lagi. 

Singkat cerita, Nyi Ageng kemudian kepengin melihat pertunjukan ledhek tersebut. Namun, setelah sampai di tempat yang dicari justru tidak ditemukan siapa-siapa. Yang ada hanya seperangkat gamelan yang tidak ada pemiliknya. Nyi Ageng kecewa, ia kemudian berucap, "He, gamelan, jadilah batu saja!". Ucapan Nyi Ageng menjadi kenyataan. Seperangkat gamelan tersebut benar-benar menjadi batu. Kemudian Nyi Ageng Pandanaran berkata, "Jika tempat ini sudah ada yang mendiami, berikan nama Watugong". 

Vihara Buddhagaya Watugong
Vihara Budhagaya via wowkeren.com

Selain versi di atas, sebetulnya ada dua versi lain sebagaimana dikutip dari inibaru.id berkaitan dengan kisah awal mula terciptanya nama Watugong. Versi pertama berasal dari Sunan Kalijaga yaitu saat beliau mendengar suara gong dari dalam tanah dalam perjalanannya mencari soko guru untuk tiang masjid Agung Demak. Sementara versi kedua berasal dari cerita sebelum dibangunnya Vihara Budhagaya Watugong dimana saat itu ditemukan batuan alami berbentuk gong yang kini bisa dijumpai di bagian depan vihara tersebut. Demikian. Semoga bermanfaat. (Sumber: Cerita Rakyat dari Semarang, S. Suharianto)


Ad by Adsterra