via radarsurabaya |
28 Oktober 1928 menjadi hari yang luar biasa bersejarah bagi bangsa Indonesia karena ketika itu para pemuda yang terdiri dari berbagai suku dan etnis bersatu untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda. Namun dalam proses menjadi Indonesia, setidaknya ada tiga tahapan yang menjadi tonggak sejarah amat penting untuk diacu kembali guna menata kembali kerangka pikir kita sebagai bangsa yang kini sedang dalam kondisi krisis di segala bidang.
Selain peristiwa pada tanggal 28 Oktober yang diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda, 20 Mei 1908 menjadi tonggak awal sejarah perjuangan bangsa ini dimana pada masa itu berdiri sebuah organisasi kemasyarakatan berpaham kebangsaan (Budi Utomo) yang kemudian diikuti organisasi-organisasi lainnya. Puncaknya, 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa berbagai suku bangsa yang berikrar pada 1928 telah menjadi satu bangsa yang merdeka yakni bangsa Indonesia.
Dari ketiga peristiwa bersejarah ini, kita hendaknya bisa memahami bagaimana para pejuang dan pendiri bangsa ini telah berjuang sekuat tenaga dan pikiran demi terwujudnya satu wadah bersama dalam satu kesatuan yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di masa-masa krisis seperti ini, hendaknya kita berkaca kembali kepada peristiwa-peristiwa tersebut untuk merekatkan kembali masalah kesatuan bangsa yang kini cenderung retak.Ketiga peristiwa bersejarah tersebut menjadi gambaran nyata dari pancaran sinar keikhlasan masing-masing suku bangsa untuk bersepakat mengubah statusnya dari berbagai suku bangsa menjadi satu bangsa. Contoh betapa tingginya rasa ikhlas dan toleransi ini juga tercermin dari penggunaan bahasa daerah Melayu-Riau yang diterima oleh semua suku bangsa di negeri ini sebagai bahasa Nasional (bahasa persatuan) sebagaimana tercantum juga dalam ikrar sumpah pemuda.
Menurut data pada tahun 1930, jumlah pemakai bahasa suku bangsa pada saat itu menunjukkan bahwa pemakai bahasa Jawa merupakan jumlah yang paling tinggi (47,02%), bahasa Sunda sebanyak 14,53%, sementara bahasa Melayu hanya 4,97% dari jumlah penduduk Nusantara saat itu. Namun baik masyarakat Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Bugis, dan lain-lain, semuanya menerima dengan ikhlas dan sepakat untuk menjunjung tinggi bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Nasional yakni Bahasa Indonesia.
Namun sayangnya, rasa ikhlas sebagai bangsa yang satu kini semakin menipis. Hampir setiap aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berlangsung dan diakhiri dengan tindakan yang mencerminkan tidak adanya keikhlasan apalagi toleran. Mengedepankan kepentingan masing-masing, kegiatan saling menuding, menyalahkan, menjatuhkan, menyerang, merusak, membakar, menyakiti, melukai, bahkan hingga menghilangkan nyawa orang kini seperti menjadi hal yang biasa.
Krisis yang terjadi seperti ini mencerminkan adanya pergeseran tentang apa hak dan kewajiban warga negara untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa. Dewasa ini, sikap kita tidak lagi menjunjung prinsip hubungan bersanding, tetapi telah bergeser ke arah hubungan bertanding. Dalam prinsip bertanding, hubungan tercipta dalam posisi berlawanan dan bersaing sehingga masing-masing berusaha untuk mendapatkan kemenangan. Tampaknya seperti inilah yang kini sedang terjadi, dimana suasana pertandingan antar kelompok yang berkepentingan terjadi tidak hanya di lapisan atas, tetapi juga merebak ke segala lapisan masyarakat.
Dari momentum bersejarah di atas, marilah kita kembali sadar bahwa kita hidup di negeri yang indah ini sebagai satu bangsa yang hidup dalam hubungan bersanding, bukan bertanding. Masing-masing dari kita memang berbeda suku, beda etnis, beda organisasi, atau beda partai, namun kita hidup bersandingan dalam satu wadah yang sama. Bila dalam prinsip bertanding akan tercipta lawan atau musuh, maka dalam prinsip bersanding akan tercipta hubungan persaudaraan dalam kesejajaran untuk saling menghargai, menghormati, mengasihi, menyayangi dan saling menjaga demi keutuhan bangsa ini.
Disarikan dengan berbagai perubahan dan penambahan dari artikel dengan judul yang sama dalam rubrik Opini, Media Indonesia, 2006.