Skip to main content

Kisah Khalifah Umar Dimarahi Sang Istri

Hidup memang tidak selamanya berjalan mulus. Begitu pula dalam kehidupan berumah tangga. Kehidupan setelah menikah tidaklah selalu berjalan indah, bahkan tidak jarang diwarnai dengan berbagai masalah yang menguji komitmen pasangan suami-istri. Tidak sedikit pula diwarnai riak-riak ombak yang sesekali datang untuk menguji kokohnya bahtera rumah tangga yang sedang mengarungi luasnya samudra kehidupan. 

riak dalam rumah tangga
ilustrasi

Keniscayaan tersebut memang sesuatu yang tidak dapat diprediksi kemunculannya. Meski begitu, setiap masalah dalam rumah tangga hendaknya bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Oleh karenanya, diperlukan kedewasaan dan kebijaksanaan masing-masing pihak agar setiap masalah yang muncul dapat teratasi dengan baik. Berkenaan dengan hal tersebut, ada sebuah kisah menarik dari Khalifah Umar bin Khattab yang saya nukil dari kitab 'Uqud al-Lujain karya Syekh Nawawi al-Bantani. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah berikut ini. 

Pada suatu hari, datanglah seorang laki-laki ke kediaman khalifah Umar bin Khattab untuk mengadukan tentang masalah akhlak istrinya. Sebelum laki-laki tersebut masuk ke dalam rumah sang khalifah, dia berhenti di depan pintu. Hal itu ia lakukan karena ketika itu ia mendengar istri khalifah Umar sedang bicara keras memarahinya (Umar). Tetapi mendapat perlakuan seperti itu dari istrinya, Umar tidak membalas bicara.

Mendapati keadaan demikian, laki-laki tersebut pun tidak jadi masuk dan memutuskan untuk pulang. Saat hendak jalan pulang, laki-laki itu berkata dalam hatinya, "Jika keadaan Umar saja begini, lantas bagaimana dengan keadaanku ini?"

Tidak lama kemudian, Umar pun keluar dan melihat laki-laki tersebut yang tengah dalam perjalanan pulang. Umar pun memanggilnya dan bertanya kepadanya, "Apa keperluanmu datang kemari?"

Laki-laki tersebut menjawab, "Hai Amirul Mukminin, aku datang kemari hendak mengadukan masalah istriku. Dia sering memarahiku. Tetapi sesampainya di sini, aku pun mendengar istri tuan juga sedang memarahi tuan. Maka aku memutuskan untuk pulang saja. Aku jadi bertanya-tanya, kalau begini keadaan tuan, lalu bagaimana dengan aku sekarang ini? ".

Mendengar penuturan laki-laki tersebut, khalifah Umar kemudian berkata, "Wahai saudaraku, aku menahan bicara dan tidak balas memarahi istriku karena aku tahu bahwa hak-hak istriku sebagai wanita itu banyak sekali yang harus aku penuhi. Padahal dia sudah memasak makanan untukku, mencucikan pakaianku, serta mengasuh anak-anakku. Itu semua bukan kewajibannya, namun tetap dia lakukan. Dan aku merasa tentram dengan adanya dia di sampingku".

Laki-laki itu kemudian berkata, "istriku juga demikian tuan". Khalifah Umar lantas berpesan, "Tahanlah marahmu! Sesungguhnya yang demikian itu tidak lama".

Dari cerita di atas, dapat diambil hikmah bahwa seorang suami haruslah mampu menempatkan diri dengan sebaik-baiknya. Seorang suami hendaknya mampu bertindak sebagai teladan, pendidik dan pembimbing yang bijaksana bagi istrinya. Selain kewajiban memberi nafkah kepada istri menurut kemampuannya, seorang suami juga harus bersabar jika istrinya menyakitkan hati. Jelaslah bahwa tugas seorang suami adalah berbuat dan memperlakukan istrinya dengan baik, di samping dia juga berkewajiban atas pangan dan sandang bagi keluarganya. 

Pada umumnya, kaum wanita adalah orang yang lemah akal serta agamanya, sehingga suami harus menyayanginya dengan membiasakan bergaul dengan baik terhadap dirinya. Ketahuilah bahwa seorang suami itu dituntut untuk menasehati, mengasihi, dan menyayangi istri. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: "Mudah-mudahan Allah mengasihi suami yang berkata, 'Hai keluargaku, peliharalah shalatmu, puasamu, dan zakatmu. Belas-kasihilah orang miskin, anak yatim, serta peliharalah tetanggamu. Mudah-mudahan Allah mengumpulkan kamu semua bersama mereka di surga kelak'".


Ad by Adsterra