Beberapa tahun setelah meraih kemerdekaannya, Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan Demokrasi Liberal yang berlangsung pada kurun waktu 1950 hingga 1959. Selama kurun waktu tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia diwarnai dengan pergantian 7 kabinet. Tidak seperti sekarang, 7 kabinet yang memerintah Indonesia selama masa demokrasi liberal ini menggunakan nama para perdana menterinya sebagai nama kabinetnya.
Dari ketujuh kabinet ini, sebagian di antaranya merupakan Zaken Kabinet, yaitu kabinet yang menteri-menterinya dipilih berdasarkan keahlian dan didukung oleh koalisi dari berbagai partai. Akan tetapi, komposisi dan kekuatan kelompok oposisi seringkali berubah-ubah sehingga menyebabkan kabinet-kabinet tersebut jatuh bangun setelah mendapatkan mosi tidak percaya dari kelompok oposisi yang kuat di parlemen. Berikut ini adalah uraian singkat kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Liberal di Indonesia.
1. Kabinet Natsir
Kabinet ini bertugas sejak tanggal 6 September 1950 dan berakhir pada 20 Maret 1951. Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang berintikan partai Masyumi. PNI sebagai partai terbesar kedua saat itu menolak untuk ikut dalam koalisi ini, karena tidak mendapatkan kedudukan yang dianggap sesuai. Salah satu tugas berat kabinet ini yaitu menyangkut upaya pengembalian Irian ke tangan Indonesia. Sayangnya, upaya tersebut mengalami jalan buntu sehingga muncul mosi tidak percaya dari parlemen terhadap kabinet ini. Pada tanggal 21 Maret 1951, Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
2. Kabinet Sukiman
Kabinet kedua ini dibentuk oleh dua orang formatur yakni Sidik Joyosukarto (PNI) dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi). Kabinet Sukiman mulai bertugas pada 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi kabinet ini sebenarnya telah didemisionerkan pada tanggal 23 Februari 1952. Kabinet ini juga tidak mampu bertahan lama, karena banyak hal yang ditentang oleh parlemen, termasuk dari Masyumi dan PNI sendiri. Salah satu masalahnya yaitu terkait pertukaran nota antara Menlu Subarjo dengan Duta Besar Amerika, Merle Cochran. Sukiman dianggap telah condong kepada Blok Barat sehingga telah melanggar garis politik luar negeri Indonesia yang Bebas-Aktif.
3. Kabinet Wilopo
Kabinet ini mulai bertugas pada 3 April 1952 hingga 30 Juli 1953. Pada masa kabinet ini, negara dihadapkan pada kondisi ekonomi yang kritis. Hal ini utamanya disebabkan oleh jatuhnya harga barang-barang ekspor Indonesia sedangkan kecenderungan ekspor terus meningkat. Masalah lain yaitu munculnya separatisme di beberapa tempat yang tidak puas terhadap pertimbangan alokasi keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kondisi semakin parah setelah terjadinya persoalan tanah di Sumatera Utara yang dikenal sebagai Peristiwa Tanjung Morawa. Pada tanggal 31 Juni 1953, Wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I
Kabinet ini memulai masa tugasnya pada 31 Juli 1953 dan berakhir pada 24 Juli 1955. Kabinet ini didukung oleh PNI dan NU yang muncul sebagai kekuatan politik baru. Sedangkan Masyumi memposisikan diri sebagai oposisi. Permasalahan yang dihadapi kabinet ini di antaranya yaitu belum pulihnya keamanan di daerah-daerah akibat sejumlah pemberontakan, permasalahan dalam lingkungan TNI AD, keadaan ekonomi yang semakin memburuk, dan terjadinya keretakan dalam kabinet. Salah satu prestasi paling menonjol yang terjadi pada masa kabinet ini adalah berhasil terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 18 - 24 April 1955.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap
Setelah kabinet Ali-Wongso menyerahkan mandatnya, terbentuklah Kabinet Burhanuddin Harahap yang bertugas pada 12 Agustus 1955 hingga 24 Maret 1956. Prestasi paling menonjol pada masa kabinet ini yaitu terselenggaranya pemilihan umum yang pertama. Pada tanggal 29 September 1955, lebih dari 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak suara untuk memilih anggota parlemen, sedangkan pemilihan umum untuk anggota konstituante diadakan pada tanggal 15 Desember 1955. Pada tanggal 1 Maret 1956, Perdana Menteri Burhanuddin Harahap selaku formatur kabinet menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno sehingga kabinet ini resmi dinyatakan demisioner.
6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Kabinet ini bertugas pada 24 Maret 1956 hingga 14 Maret 1957. Kabinet Ali II merupakan kabinet koalisi antara 3 partai besar yaitu PNI, Masyumi, dan NU di samping beberapa partai kecil lainnya. Permasalahan yang terjadi pada masa ini antara lain berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat dan terjadinya kekacauan di beberapa daerah. Masalah lainnya yaitu timbul perpecahan di dalam kabinet antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kepada presiden sesuai dengan tuntutan daerah. Pihak PNI menolaknya sehingga Masyumi pun menarik menteri-menterinya dari kabinet. Pada akhirnya, Ali Sastroamidjojo terpaksa menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden.
7. Kabinet Juanda
Kabinet Juanda mulai bertugas pada 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959. Kabinet ini memiliki tugas berat utamanya dalam menghadapi pergolakan di daerah-daerah, perjuangan mengembalikan Irian Barat, serta menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk. Pada masa ini, dibentuk Dewan Nasional yang bertujuan untuk menampung dan menyalurkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Namun kesulitan-kesulitan yang dihadapi malah semakin meningkat. Puncaknya, daerah-daerah semakin terang-terangan menentang kebijakan pemerintah pusat yang berkembang menjadi pemberontakan PRRI/Permesta. Kabinet Juanda berakhir setelah presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dimulailah masa Demokrasi Terpimpin.