Kerajaan (kesultanan) Demak adalah kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yang berdiri menjelang abad ke-15 atau sekitar tahun 1475 - 1500 M. Pada mulanya, wilayah Demak dikenal dengan nama Glagah Wangi dan merupakan sebuah kadipaten dari kerajaan Majapahit. Di kemudian hari, kerajaan ini juga dikenal dengan sebutan Demak Bintoro karena letaknya berada di kampung Bintoro yang berada di tepi laut wilayah Demak.
via metrojateng.com |
Menurut beberapa sumber, kata Demak merupakan akronim dari kata gede makmur atau hadi makmur yang berarti besar dan sejahtera. Ada beberapa faktor yang mendorong berdirinya kerajaan Islam Demak, antara lain yaitu:
- Raden Fatah sebagai pendiri kerajaan Demak masih keturunan dari raja Majapahit yakni Brawijaya V hasil perkawinannya dengan putri Cempa yang beragama Islam.
- Raden Fatah mendapat dukungan dari para wali yang sangat dihormati pada waktu itu.
- Banyak adipati-adipati pesisir yang tidak puas dengan Majapahit dan mendukung kepemimpinan Raden Fatah.
- Kemunduran dan runtuhnya Majapahit karena perang paregreg.
Berdirinya Kerajaaan Demak
Seiring dengan melemahnya kekuasaan Majapahit, Demak muncul sebagai kekuatan baru yang mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit. Pada tahun 1500 M, Raden Fatah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit dan mendirikan kesultanan Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar al Fatah (1500-1518). Pusaka keraton Majapahit sebagai lambang pemegang kekuasaan pun diberikan kepada Raden Fatah. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Islam Demak merupakan kelanjutan dari Kerajaan Majapahit dalam bentuknya yang baru.
Kerajaan Demak merupakan pelopor bagi penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Langkah pertama yang dilakukan oleh Raden Fatah setelah menjadi raja Demak adalah membangun masjid Demak di bawah arsitek Sunan Kalijaga. Di serambi masjid ini Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar perayaan Sekaten (Syahadatain). Selain itu, Raden Fatah juga menjadikan para wali sebagai penasehat dan pendamping raja. Berkat dukungan para Wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo, Demak berhasil berkembang menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa yang memiliki pengaruh cukup luas.
Pada masa berkembangnya kerajaan Demak, bidang kesenian juga berkembang pesat, seperti wayang, gamelan, tembang macapat, pembuatan keris, dan hikayat-hikayat jawa. Raden Fatah selaku Sultan Demak juga diketahui pernah menuliskan sebuah kitab hukum yang disebut dengan Salokananta. Di dalam kitab tersebut antara lain dijelaskan tentang pemimpin keagamaan yang sekaligus menjabat sebagai hakim yang disebut dharmadhyaksa dan kertopapatti.
Kejayaan Demak
Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa. Pada masa itu, tidak satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya dengan menundukkan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman di Nusantara. Pengganti Raden Fatah, Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor (1518-1521) juga memiliki visi besar untuk menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Hal ini terlihat dari usahanya untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1513 dan tahun 1521. Sayangnya, kedua serangan tersebut mengalami kegagalan dan ia gugur dalam pertempuran tersebut.
Di bawah pemerintahan raja ketiga, Sultan Trenggana (1521-1546), kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya. Meskipun gagal menundukkan Portugis di Malaka, kedudukan Demak sebagai kerajaan Maritim tidak begitu berpengaruh. Malah sebaliknya, kegiatan pelayaran dan perdagangan Demak di Demak semakin ramai. Hal ini disebabkan setelah Malaka dikuasai Portugis, para pedagang Muslim tidak mau lagi singgah dan berdagang di Malaka. Mereka mencari pusat persinggahan dan perdagangan baru, di antaranya Demak.
Selain kegiatan perdagangan, Demak juga mengembangkan perekonomian agraris. Demak berperan penting dalam bidang agraris, karena mempunyai daerah pertanian yang cukup luas dan sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Pertanian Demak tumbuh dengan baik karena aliran sungai Demak lewat pelabuhan Bergota dan Jepara. Sehingga pada abad 16, Demak telah menjadi lumbung padi yang penting di Jawa. Selain beras, komoditi perdagangan lain dari Demak antara lain garam, kayu jati, madu, dan lilin.
Sultan Trenggana juga terus berupaya memperluas wilayah kekuasaannya disamping memperluas penyebaran agama Islam di Nusantara. Di sisi lain, Portugis juga mulai memperluas pengaruhnya ke wilayah Jawa Barat, bahkan hendak mendirikan benteng dan kantor di Sunda Kelapa dengan persetujuan raja Pajajaran, Samiam. Oleh karena itu, pada tahun 1522 Demak mengirimkan pasukannya ke Jawa Barat dipimpin oleh adik iparnya bernama Fatahillah, seorang pelarian dari Pasai yang berhasil meloloskan diri dari kepungan Portugis.
Pasukan Demak dibawah komando Fatahillah berhasil menguasai daerah-daerah penting bagi perdagangan di Jawa Barat. Pasukan Demak juga berhasil menduduki Banten dan Cirebon serta mengusir Portugis dari Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527 (kini diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta). Sejak saat itu, wilayah Sunda Kelapa pun diubah namanya menjadi Jayakarta (sekarang Jakarta). Hingga sekitar tahun 1540, hampir seluruh wilayah Pasundan/Jawa Barat telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Demak.
peta wilayah kekuasaan Demak |
Sementara itu, perluasan pengaruh ke Jawa Timur dipimpin langsung oleh Sultan Trenggana untuk menjangkau wilayah-wilayah bekas Majapahit. Satu persatu daerah-daerah di Jawa Timur berhasil dikuasai seperti Tuban (1527), Madura (1528), Madiun (1529), Surabaya (1527 - 1529), Kediri (1529), Malang (1529 - 1545), bahkan hingga Blambangan (1529 - 1546). Sayangnya, Sultan Trenggana gugur ketika menyerang Pasuruan pada tahun 1546.
Kemunduran dan Berakhirnya Kerajaan Demak
Setelah Sultan Trenggana wafat, terjadi perebutan kekuasaan antara Surawiyata atau Pangeran Sekar Seda ing Lepen (adik Trenggana) dengan Sunan Prawoto (putra Trenggana). Surawiyata berhasil dibunuh oleh utusan Sunan Prawoto. Pada tahun 1546, tampuk kekuasaan Demak pun dipegang oleh Sunan Prawoto. Raja keempat Demak, Sunan Prawoto ini tidak lama berkuasa. Ia tewas pada tahun 1549 setelah dibunuh oleh pengikut Arya Penangsang (putra Pangeran Surawiyata) dari Jipang yang menuntut balas atas kematian ayahnya.
Ketika Arya Penangsang menjadi penguasa Demak, banyak orang tidak menyukainya. Terlebih saat pengikut Arya Penangsang membunuh adipati Jepara bernama Pangeran Hadiri, suami dari Ratu Kalinyamat yang merupakan adik kandung Sunan Prawoto. Pembunuhan itu dilakukan karena Hadiri dianggap telah ikut campur dalam persoalannya dengan Sunan Prawoto. Hal ini pun menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak ikut memusuhi Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat akhirnya mengangkat senjata memberanikan diri untuk melawan Arya Penangsang. Ia berhasil menggerakkan adipati-adipati dan pejabat lain untuk ikut melawan Arya Penangsang.
Pada akhirnya, Arya Penangsang berhasil dibunuh oleh Jaka Tingkir (menantu Trenggana) yang dibantu oleh Kyai Gede Pamanahan dan putra angkatnya Sutawijaya serta Ki Penjawi dan Juru Mertani. Dengan terbunuhnya Arya Penangsang, maka tahun 1554 menjadi akhir dari era Kesultanan Demak. Jaka Tingkir naik tahta dalam sebuah penobatan yang dilakukan oleh Sunan Giri dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan dari Demak ke Pajang. (diolah dari berbagai sumber)