Mawaris atau mawarits berarti hal-hal yang berhubungan dengan waris dan warisan. Sedangkan ilmu yang mempelajari tentang mawarits disebut dengan ilmu faraid. Ilmu faraid adalah ilmu pengetahuan yang menguraikan cara membagi harta peninggalan seseorang kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Terkait pentingnya ilmu faraid, Rasulullah SAW bersabda:
تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهَا، فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى، وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
"Pelajarilah ilmu faraid, dan ajarkanlah dia kepada manusia, karena faraid itu separuh ilmu, ia akan dilupakan orang kelak dan ia pulalah yang mula-mula akan tercabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni)
Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan Islam, ilmu faraid bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits. Tujuan disyariatkannya ilmu faraid adalah agar pembagian warisan dilakukan secara adil, tidak ada ahli waris yang merasa dirugikan sehingga tidak akan terjadi perselisihan atau perpecahan di antara ahli waris karena masalah pembagian warisan.
Rukun dan Syarat-Syarat Waris
Rukun dan syarat dalam waris Islam ada 3 (tiga), yaitu:
- Orang yang mewariskan (al-muwarrits), yakni mayit yang diwarisi oleh orang lain yang berhak mewarisinya.
- Orang yang mewarisi (al-wârits), yaitu orang yang bertalian dengan mayit dengan salah satu dari beberapa sebab yang menjadikan ia bisa mewarisi.
- Harta warisan (al-maurûts), yakni harta warisan yang ditinggalkan mayit setelah kematiannya.
Sedangkan syarat-syarat dalam waris adalah sebagai berikut:
- Meninggalnya seorang pewaris baik secara hakiki maupun secara hukum.
- Adanya ahli waris yang masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia.
- Diketahui dengan jelas hubungan ahli waris dengan si mayit.
- Satu alasan yang menetapkan seseorang bisa mendapatkan warisan secara rinci (lewat sidang pengadilan).
Sebab-sebab Ahli Waris Berhak Memperoleh Harta Warisan
Dalam ajaran Islam, sebab-sebab seseorang (ahli waris) dapat memperoleh harta warisan ada empat, yaitu:
- Kekeluargaan, misalnya: anak, cucu, ayah, ibu, dan saudara-saudara, berhak memperoleh harta warisan yang ditinggalkan pewaris karena adanya hubungan kekeluargaan. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 7).
- Perkawinan, istri mendapat bagian dari harta warisan peninggalan suami atau sebaliknya. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 12).
- Wala', yaitu berhak mendapat bagian dari harta warisan karena memerdekakan hamba sahaya. Rasulullah SAW bersabda, "Hubungan orang yang memerdekakan dengan yang dimerdekakannya itu seperti hubungan turunan dengan turunan, tidak dijual dan tidak diberikan" (HR. Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).
- Hubungan seagama, yakni sama-sama Islam. Dalam hal ini, seseorang yang meninggal namun tidak memiliki ahli waris yang memiliki sebab-sebab di atas untuk bisa mewarisinya, maka harta tinggalannya tersebut diserahkan kepada baitul maal untuk dikelola demi kemaslahatan umat Islam.
Sebab-Sebab Ahli Waris Tidak Berhak Memperoleh Harta Warisan
Sebab-sebab seseorang (ahli waris) tidak berhak untuk memperoleh harta warisan yang ditinggalkan keluarganya adalah sebagai berikut:
- Budak belian (hamba), ahli waris yang kedudukannya sebagai budak belian tidak berhak memperoleh harta warisan peninggalan keluarganya karena kalau mereka diberi bagian dari harta warisan, maka bagiannya itu akan menjadi milik tuannya.
- Membunuh, ahli waris yang membunuh pewaris tidak berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang dibunuhnya. Rasulullah SAW bersabda, "Yang membunuh tidak berhak mewarisi harta peninggalan keluarga yang dibunuhnya" (HR. An-Nasai).
- Murtad, ahli waris yang murtad (keluar dari Islam) tidak berhak memperoleh harta warisan peninggalan keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya, seorang Muslim/ Muslimah tidak berhak mewarisi harta peninggalan keluarganya yang bukan Islam.
- Beda Agama, orang yang tidak beragama Islam (kafir) tidak berhak menerima harta warisan peninggalan keluarganya yang beragama Islam. Demikian pula sebaliknya, orang Islam tidak berhak mewarisi harta pusaka peninggalan keluarganya yang tidak beragama Islam. Rasulullah SAW bersabda, "Seorang Muslim tidak berhak mewarisi harta peninggalan orang kafir, dan orang kafir tidak berhak pula mewarisi harta peninggalan orang Islam". (HR. Al-Jamaah).
Ahli Waris
Ditinjau dari segi jenis kelamin, ahli waris dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris wanita. Ahli waris laki-laki berjumlah lima belas orang atau golongan sedangkan ahli waris wanita berjumlah sepuluh orang atau golongan.
1. Ahli Waris Laki-laki
- Anak laki-laki.
- Cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki) dan terus ke bawah asalkan pertaliannya masih terus laki-laki.
- Bapak.
- Kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas.
- Saudara laki-laki sekandung.
- Saudara laki-laki sebapak.
- Saudara laki-laki seibu.
- Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
- Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak.
- Paman yang sekandung dengan bapak.
- Paman yang sebapak dengan bapak.
- Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak.
- Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak.
- Suami.
- Laki-laki yang memerdekakan si pewaris.
Jika lima belas orang ahli waris tersebut semuanya ada, maka yang memperoleh bagian dari harta warisan hanya tiga orang yaitu ayah (bapak), suami, dan anak laki-laki.
2. Ahli Waris Perempuan
Adapun ahli waris perempuan rinciannya adalah sebagai berikut:
- Anak perempuan.
- Cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah, asal pertaliannya dengan pewaris masih terus laki-laki.
- Ibu.
- Nenek (ibu dari ibu) dan seterusnya ke atas.
- Nenek (ibu dari bapak) dan seterusnya ke atas.
- Saudara perempuan seibu sebapak.
- Saudara perempuan sebapak.
- Saudara perempuan seibu.
- Istri.
- Wanita yang memerdekakan pewaris.
Jika sepuluh orang ahli waris tersebut semuanya ada, maka yang memperoleh bagian dari harta warisan hanya lima orang, yaitu: anak perempuan, cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki), ibu, saudara perempuan seibu-sebapak, dan istri.
Jika ahli waris laki-laki dan wanita yang berjumlah dua puluh lima orang ini semuanya ada, maka yang memperoleh bagian harta warisan hanya lima orang saja yaitu anak laki-laki, anak perempuan, ibu, bapak, dan suami/istri.
Baca juga: Ringkasan Materi Fiqih Munakahat
Ditinjau dari segi ketentuan perolehan bagian dari harta warisan, ahli waris dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu Dzawil Furud (Ahlul Furud) dan Ashabah.
a. Dzawil Furud
Dazwil Furud adalah ahli waris yang perolehan bagian harta warisannya sudah ditentukan oleh syara' (Al-Qur'an dan Hadits). Di antara mereka ada yang memperoleh bagian: 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 dari harta warisan.
▪ Ahli waris yang bagiannya 1/2 dari harta warisan:
- Anak perempuan tunggal. (Lihat Surah An-Nisa, ayat 11).
- Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki.
- Saudara perempuan tunggal yang seibu sebapak (Lihat QS. An-Nisa, ayat 176).
- Saudara perempuan tunggal yang sebapak.
- Suami, apabila pewaris (istrinya) tidak meninggalkan anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 12).
▪ Ahli waris yang bagiannya 1/4 dari harta warisan:
- Suami, apabila istrinya yang meninggal mempunyai anak atau cucu. (Lihat Surah An-Nisa, ayat 12).
- Istri, seorang atau lebih, bila pewaris (suaminya) tidak meninggalkan anak atau cucu. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 12).
▪ Ahli waris yang bagiannya 1/8 dari harta warisan:
- Istri, seorang atau lebih, apabila pewaris (suami) meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 12).
▪ Ahli waris yang bagiannya 2/3 dari harta warisan:
- Dua orang anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 11).
- Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila anak perempuan tidak ada.
- Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seibu sebapak. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 176).
- Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak.
▪ Ahli waris yang bagiannya 1/3 dari harta warisan:
- Ibu, apabila si pewaris (anaknya) tidak meninggalkan anak atau cucu (dari anak laki-laki), atau dua orang saudaranya (lebih) laki-laki maupun perempuan, sekandung/sebapak atau seibu saja. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 11).
- Dua orang saudara seibu atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 12).
▪ Ahli waris yang bagiannya 1/6 dari harta warisan:
- Bapak atau kakek, apabila ada anak/cucu.
- Ibu, apabila ada anak atau cucu atau ada dua orang saudara (lebih).
- Nenek, seorang atau lebih, bila tidak ada ibu.
- Seorang saudara seibu, baik laki-laki maupun wanita.
- Cucu perempuan, seorang atau (lebih), apabila ada seorang anak perempuan, tetapi apabila anak perempuannya lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat bagian apa-apa.
- Seorang saudara perempuan sebapak, atau lebih, apabila ada seorang saudara perempuan sekandung, tetapi apabila saudara sekandungnya lebih dari seorang, maka saudara-saudara perempuan sebapak menjadi terhalang (tidak dapat waris).
b. Ashabah
Ashabah adalah ahli waris yang bagian dari harta warisannya tidak tertentu. Misalnya, seluruh harta warisan jatuh ke tangannya karena tidak ada ahli waris dzawil furud, sisa dari harta warisan setelah diambil oleh dzawil furud, atau tidak berhak memperoleh bagian pusaka karena harta warisan itu habis dibagikan kepada dzawil furud yang berhak menerimanya.
Ashabah dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
▪ Ashabah binafsihi, yaitu ahli waris yang menjadi ashabah karena secara otomatis, bukan karena ditarik oleh ahli waris dzawil furud. Ashabah binafsihi terdiri dari 13 orang, semuanya laki-laki dengan urutan sebagai berikut:
- Anak laki-laki.
- Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.
- Bapak.
- Kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas.
- Saudara laki-laki seibu sebapak.
- Saudara laki-laki sebapak.
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak.
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
- Paman yang seibu sebapak dengan bapak.
- Paman yang sebapak dengan bapak.
- Anak laki-laki paman yang seibu sebapak dengan bapak.
- Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak.
- Anak laki-laki yang memerdekakan si pewaris ketika masih menjadi budak.
Apabila ahli waris termasuk ashabah binafsihi tersebut semuanya ada, yang mendapat bagian harta warisan hanyalah ahli waris yang mempunyai hubungan terdekat dengan si pewaris (sesuai dengan urutan di atas). Ahli waris yang hubungannya jauh dengan si pewaris terhalang. Misalnya, cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki, kakek terhalang oleh bapak, dan seterusnya.
Jika ahli waris terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, mereka memperoleh bagian seluruh harta warisan (bila tidak ada dzawil furud yang berhak memperoleh bagian harta warisan) atau memperoleh sisa harta pusaka setelah diambil oleh dzawil furud yang berhak memperolehnya seperti istri (suami), ibu, dan bapak. Cara pembagiannya untuk anak laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat dari bagian anak perempuan. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 11).
▪ Ashabah bighairihi, yaitu ahli waris yang menjadi ashabah dengan sebab ditarik oleh ahli waris tertentu dari ashabah binafsihi. Mereka adalah sebagai berikut:
- Anak perempuan dengan sebab adanya anak laki-laki. Ketentuan bagian harta pusakanya untuk anak laki-laki sebanyak dua kali lipat bagian anak perempuan.
- Cucu perempuan dari anak laki-laki dengan sebab adanya cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ketentuan bagian harta warisannya sama dengan anak perempuan dan anak laki-laki seperti tersebut di atas.
- Saudara perempuan seibu sebapak dengan sebab adanya saudara laki-laki seibu sebapak.
- Saudara perempuan sebapak dengan sebab adanya saudara laki-laki sebapak.
Ketentuan bagian harta warisan saudara perempuan bila ada saudaranya yang laki-laki adalah untuk saudara laki-laki dua kali lipat dari bagian saudaranya yang perempuan. (Lihat QS. An-Nisa, ayat 176).
▪ Ashabah ma'a ghairihi, yaitu ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tertentu dari dzawil furud. Mereka adalah sebagai berikut:
- Saudara perempuan sekandung, apabila bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
- Saudara perempuan sebapak, apabila bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
Saudara perempuan sekandung (sebapak) memperoleh bagian harta warisan berupa sisanya setelah diambil oleh anak perempuan seorang atau lebih, atau cucu perempuan seorang atau lebih.
Hijab
Hijab berarti tabir atau penghalang bagi ahli waris untuk menerima harta warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat atau yang lebih berhak. Hijab dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Hijab Nuqshan, yaitu hijab yang dapat mengurangi bagian dari harta warisan bagi ahli waris tertentu karena bersama-sama dengan ahli waris lain tertentu pula. Misalnya, jika si pewaris hanya meninggalkan ahli waris istri dan ahli waris lain, tetapi tidak meninggalkan anak/cucu, maka besarnya bagian harta warisan istri adalah 1/4 dari harta warisan. Meskipun demikian, apabila pewaris meninggalkan juga anak/cucu, bagian istri berubah menjadi 1/8 dari harta warisan. Dalam hal ini anak/cucu menjadi hijab nuqshan bagi istri.
2. Hijab Hirman, yaitu hijab yang menyebabkan ahli waris kehilangan haknya atas harta warisan karena terhalang ahli waris yang lebih dekat atau lebih berhak, antara lain sebagai berikut:
- Cucu laki-laki tidak berhak memperoleh harta warisan, apabila ada anak laki-laki.
- Kakek tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada bapak.
- Nenek tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada ibu.
- Saudara seibu sebapak tidak berhak memperoleh harta warisan selama ada anak laki-laki dan bapak.
- Saudara laki-laki/perempuan sebapak tidak berhak memperoleh harta warisan apabila ada anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, saudara laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sekandung jika ber ashabah bersama-sama dengan anak perempuan (cucu perempuan).
Penghitungan Warisan
Sebelum penghitungan warisan dilaksanakan, hendaknya harta warisan digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi empat macam keperluan, yakni zakat, biaya pengurusan jenazah dan biaya perawatan ketika sakit, melunasi utang si pewaris, dan memenuhi wasiatnya. Jika sudah, langkah-langkah selanjutnya yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
- Menentukan ahli waris laki-laki ahli waris wanita.
- Menentukan dzawil furud dan siapa-siapa yang termasuk ashabah.
- Menentukan ahli waris yang bagiannya berkurang karena terhalang oleh ahli waris hijab nuqshan.
- Menentukan ahli waris yang sama sekali tidak berhak memperoleh bagian warisan karena terhalang oleh ahli waris hijab hirman.
- Menetukan apakah ahli waris terdiri dari dzawil furud saja, ashabah saja, atau terdiri dari dzawil furud dan ashabah.
Jika ternyata ahli waris hanya terdiri dari dzawil furud, maka harta warisan dibagikan kepada mereka sesuai dengan yang telah ditentukan. Jika ternyata ahli waris hanya terdiri dari ashabah, maka seluruh harta warisan dibagikan kepada mereka sesuai dengan ketentuan. Sedangkan jika ahli waris terdiri dari dzawil furud dan ashabah, maka mula-mula harta warisan dibagikan kepada dzawil furud dan sisanya baru untuk ashabah.
Hal Lain Yang Perlu Diketahui dalam Penghitungan Warisan
Al-Gharawain
Al-Gharawain terjadi apabila ahli waris hanya terdiri dari istri atau suami serta bapak dan ibu. Al-Gharawain berarti dua masalah aneh karena cara pembagian warisan untuk ibu dan bapak menyalahi ketentuan umum. Menurut ketentuan semula bagian ibu adalah 1/3 dari harta warisan, sedangkan bapak menghabiskan sisa harta warisan, setelah harta warisan itu diambil oleh dzawil furud istri/suami dan ibu. Akan tetapi, dalam masalah al gharawain ini, bagian ibu menjadi 1/3 dari sisa harta warisan, setelah diambil oleh istri (suami) dan bapak 2/3 dari sisa harta setelah diambil oleh istri (suami). Hal ini sesuai dengan ketentuan, bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita.
Al-Aul
Al-Aul terjadi apabila jumlah bagian dzawil furud melebihi jumlah pokok masalahnya. Dalam hal seperti ini maka bagian dari masing-masing ahli waris dzawil furud tetap seperti semula, hanya pokok masalahnya berubah, yakni menurut jumlah bagian-bagian tersebut. Ini berarti bahwa bagian masing-masing ahli waris lebih kecil dari bagian semula.
Radd
Menurut istilah, radd adalah mengembalikan apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka, apabila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya. Masalah ini terjadi apabila pembilangan lebih kecil daripada penyebut, dan pada dasarnya merupakan kebalikan dari masalah aul. Namun penyelesaiannya tentu berbeda dengan masalah aul, karena aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan pembagian.