Skip to main content

Ringkasan Materi Fiqih Munakahat

Bagi mahasiswa jurusan Ahwal al Syakhsiyyah (Hukum Perdata Islam), fiqih Munakahat merupakan salah satu materi yang wajib dipelajari oleh setiap mahasiswanya. Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan, sehingga fiqih munakahat bisa diartikan sebagai bidang kajian ilmu yang mempelajari tentang perkawinan dalam agama Islam mulai dari dasar hukum, tujuan, rukun, kewajiban suami & istri, dan sebagainya.

fiqih munakahat
via twitter.com

Pengertian Nikah

Dalam istilah syariat, nikah berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia yang diridhai oleh Allah SWT.

Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW atau sunah Rasul. Dalam sebuah hadits disebutkan, "Dari Anas bin Malik RA, bahwasanya Nabi SAW memuji Allah SWT dan menyanjungNya, kemudian beliau bersabda, 'akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka dia bukanlah dari golonganku" (HR. Bukhari dan Muslim)

Hukum Nikah

Menurut sebagian besar Ulama, hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh, atau haram.

1. Sunnah

Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinaan, walaupun tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah sunnah. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai para pemuda, jika di antara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah ia menikah karena menikah itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih memelihara kelamin (kehormatan), dan barangsiapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya". (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Wajib

Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina jika tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah wajib.

3. Makruh

Bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya, maka hukum nikah adalah makruh.

4. Haram

Bagi orang yang bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi, hukum nikah adalah haram.

Tujuan Pernikahan

Secara umum, tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam. Adapun secara terperinci, tujuan pernikahan dapat dikemukakan sebagai berikut:
  • Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang (lihat surah ar-Ruum, 21). 
  • Untuk memperoleh ketenangan hidup (sakinah).
  • Untuk memenuhi kebutuhan seksual secara sah dan diridhai Allah.
  • Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat.
  • Untuk mewujudkan keluarga bahagia di dunia dan akhirat.

Rukun Nikah

Rukun nikah berarti ketentuan-ketentuan dalam pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan itu sah. Rukun nikah tersebut ada lima macam, yaitu:

1. Ada calon suami, dengan syarat: laki-laki yang sudah berusia dewasa (19 tahun), beragama Islam, tidak dipaksa/ terpaksa, tidak sedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya.

2. Ada calon istri, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur (16 tahun), bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

3. Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai wanita atau mengizinkan pernikahannya. Dari Aisyah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Siapa pun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya" (HR. Imam yang empat kecuali An-Nasai, dan disahkan oleh Abu Awamah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).

Adapun wali nikah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
  • Wali Nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan (ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki, dan seterusnya).
  • Wali Hakim, yaitu kepala negara yang beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim dilimpahkan kepada pembantunya yaitu Menteri Agama. Kemudian Menteri Agama mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Islam (KUA) yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah jika wali nasab tidak ada atau tidak bisa memenuhi tugasnya.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah adalah sebagai berikut:
  • Beragama Islam. 
  • Laki-laki. 
  • Baligh dan berakal. 
  • Merdeka atau bukan hamba sahaya. 
  • Bersifat adil. 
  • Tidak sedang ihram haji atau umrah. 

4. Ada dua orang saksi. Dalam pernikahan juga diperlukan dua orang saksi dengan syarat beragama Islam, laki-laki, baligh (dewasa), berakal sehat, dapat mendengar, dapat melihat, dapat berbicara, adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.

5. Ada akad nikah, yakni ucapan ijab kabul. Ijab adalah ucapan wali (dari pihak mempelai wanita) sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Sedangkan qabul adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada istrinya, karena merupakan syarat nikah, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunnah. (lihat surah An-Nisa, 4)

Selesai akad nikah, maka diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakan walimah adalah sunnah muakkad. Rasulullah SAW bersabda, "Adakanlah walimah walaupun hanya dengan memotong seekor kambing". (HR. Bukhari & Muslim). 

Adapun menghadiri walimah bagi yang diundang hukumnya wajib, kecuali kalau ada udzur (halangan) seperti sakit. Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan walimah berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya" (HR. Muslim). 

Muhrim

Menurut pengertian bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fiqih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu:

1. Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
  • Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
  • Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
  • Saudara perempuan (sekandung, sebapak atau seibu).
  • Saudara perempuan dari bapak.
  • Saudara perempuan dari ibu.
  • Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
  • Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

2. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan:
  • Ibu yang menyusui.
  • Saudara perempuan sesusuan.

3. Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan:
  • Ibu dari istri (mertua). 
  • Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain/ sebelumnya), apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya.
  • Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum.
  • Menantu (istri dari anak laki-laki) baik sudah dicerai atau belum.

4. Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri. Misalnya, haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan bibinya, atau terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya. 

Untuk dasar hukum tentang wanita-wanita yang haram dinikahi seperti tersebut di atas, silahkan baca firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 23.

Kewajiban Suami dan Istri

Agar tujuan pernikahan tercapai, suami-istri harus melaksanakan kewajiban hidup berumah tangga sebaik-baiknya dengan landasan niat ikhlas karena Allah semata. Rasulullah SAW bersabda, "Suami adalah penanggung jawab rumah tangga suami istri yang bersangkutan" (HR. Bukhari & Muslim). Secara umum, kewajiban suami-istri adalah sebagai berikut:

Kewajiban Suami

a. Memberikan nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal (lihat surah At-Talaq, 7).

b. Memimpin serta membimbing istri dan anak-anak agar menjadi orang yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, agama, masyarakat, serta bangsa dan negaranya.

c. Bergaul dengan istri dan anak-anak dengan baik (ma'ruf). Misalnya sopan dan hormat kepada istri serta keluarganya, menyayangi istri dan anak-anak dengan niat ikhlas karena Allah serta untuk memperoleh ridhaNya.

d. Memelihara istri dan anak-anak dari bencana, baik lahir maupun batin, duniawi maupun ukhrawi.

e. Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi anak yang saleh.

Kewajiban Istri

a. Taat kepada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam. Adapun suruhan suami yang bertentangan dengan Islam tidak wajib ditaati.

b. Memelihara diri serta kehormatan dan harta benda suami, baik di hadapan atau di belakangnya.

c. Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarganya.

d. Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit, serta mencukupkan nafkah yang diberikan suami sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya, hermat, cermat, dan bijaksana.

e. Hormat dan sopan kepada suami dan keluarganya.

f. Memelihara, mengasuh, dan mendidik anak-anak agar menjadi anak yang saleh.

Perceraian

Perceraian berarti pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri. Salah satu sebab perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran suami-istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, walaupun sudah didatangkan hakim dari pihak suami dan pihak istri.

Pada dasarnya, perceraian merupakan perbuatan yang tidak terpuji, karena dapat menimbulkan akibat-akibat yang negatif, terutama apabila suami dan istri yang bercerai itu sudah mempunyai anak. Rasulullah SAW bersabda, "Perbuatan yang halal tetapi paling dibenci Allah adalah talak" (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Pada kondisi-kondisi tertentu, mungkin perceraian lebih baik dilakukan, karena apabila tidak dilakukan akan menyebabkan penderitaan, baik bagi istri maupun suami atau akan menyebabkan kedurhakaan kepada Allah SWT. Adapun hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak suami atau istri, talak, fasakh, khulu', li'an, ila', dan zihar.

a. Talak

Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara suka rela ucapan talak dari pihak suami kepada istrinya. Asal hukum talak adalah makruh sebagaimana telah dikemukakan Rasulullah SAW dalam haditsnya. Dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, maka talak dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
  • Talak Sunni: yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istri dalam keadaan suci atau tidak bermasalah secara hukum syara', seperti haidh, dan selainnya.
  • Talak Bid'i:  yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istrinya dalam keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar'i.

Sedangkan dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya, maka talak juga dibagi menjadi dua, yaitu:
  • Talak Raj'i: yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya, dan suami boleh rujuk (kembali) kepada istri yang telah ditalaknya selama masih dalam masa iddah. Juga masih dapat menikah kembali setelah habis masa iddahnya. 
  • Talak Ba'in: yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddahnya. Dalam hal ini, talak ba'in terbagi lagi pada 2 yaitu: talak ba'in sughra dan talak ba'in kubra. 

Talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru. Sedangkan talak ba'in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. dalam hal ini, suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai secara wajar. Maksud dari secara wajar di sini adalah jika nikah seseorang dengan mantan istri orang lain itu dengan maksud agar mereka bisa menikah kembali (muhallil), maka ia dilaknat oleh Rasulullah SAW. 

Dalam pernikahan di Indonesia, selesai akad nikah biasanya suami mengucapkan ta'lik talak, yaitu talak yang digantungkan dengan sesuatu (syarat atau perjanjian). Misalnya, suami berkata kepada istrinya, "Bila selama 3 bulan berturut-turut saya tidak memberi nafkah kepada engkau, berarti saya telah mentalak engkau". Ta'lik talak ini hukumnya sah dan dibenarkan syara'. 

b. Fasakh

Fasakh adalah pembatalan pernikahan antara suami-istri karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan perkawinan diteruskan, atau karena cacat atau penyakit yang terjadi pasca akad dan mengakibatkan tujuan atau arti pernikahan tidak tercapai. Fasakh dilakukan oleh hakim agama, karena adanya pengaduan dari istri atau suami dengan alasan yang dapat dibenarkan. Akibat perceraian dengan fasakh, maka suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya. Namun, kalau ia ingin kembali sebagai suami-istri karena syarat telah terpenuhi, harus melalui akad nikah baru. Fasakh tidak mempengaruhi bilangan talak, artinya, walaupun fasakh dilakukan lebih dari tiga kali, bekas suami-istri itu boleh menikah kembali tanpa bekas istrinya harus menikah dulu dengan laki-laki lain. 

c. Khulu'

Menurut istilah bahasa, khulu' berarti tanggal. Dalam ilmu fiqih, khulu' adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik dengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua. 

Khulu' diperkenankan dalam Islam dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri, karena adanya tindakan-tindakan suami yang tidak wajar (umum). Allah SWT berfirman yang artinya, "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". (QS. Al Baqarah, 229).

Akibat perceraian dengan cara khulu', maka suami tidak dapat rujuk, walaupun bekas istrinya masih dalam masa iddah. Akan tetapi, kalau bekas suami-istri itu ingin kembali, harus melalui akad nikah baru. Berbeda dengan fasakh, khulu' dapat mempengaruhi bilangan talak. Artinya, kalau sudah tiga kali dianggap tiga kali talak (talak ba'in kubra), sehingga suami tidak boleh menikah lagi dengan bekas istrinya sebelum bekas istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masa iddahnya. 

d. Li'an

Li'an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina (karena suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istrinya berzina) dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan, "Laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku apabila tuduhanku itu dusta". Apabila suami sudah menjatuhkan li'an, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya, yaitu dilempari dengan batu yang sedang sampai mati. 

Agar istri terlepas dari hukum rajam karena merasa tidak berzina, maka ia (istri) harus menolak tuduhan suaminya dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada kali kelimanya dia mengucapkan, "Laknat Allah akan menimpa diriku apabila tuduhan tersebut benar"

Sumpah suami-istri seperti di atas secara otomatis menyebabkan mereka bercerai serta tidak boleh rujuk atau menikah kembali untuk selama-lamanya. Bahkan, kalau setelah itu si istri hamil, anak tersebut tidak boleh diakui sebagai anak bekas suaminya. Dalil Al Qur'an yang menjelaskan tentang li'an dapat dibaca dalam surah An-Nur, 6 - 10.

e. Ila'

Ila' berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama empat bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Sumpah suami tersebut hendaknya ditunggu sampai empat bulan. Jika sebelum empat bulan dia kembali kepada istrinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat). Akan tetapi, jika sampai empat bulan dia tidak kembali pada istrinya, maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih di antara dua hal, yaitu kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau mentalak istrinya. (lihat surah Al Baqarah, 226 dan 227).

f. Zhihar 

Zhihar adalah ucapan suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya, "Punggungmu sama dengan punggung ibuku". Jika suami mengucapkan kata-kata tersebut dan tidak melanjutkannya dengan mentalak istrinya, wajib baginya membayar kafarat, dan haram meniduri istrinya sebelum kafarat dibayar. Penjelasan Al Qur'an tentang zhihar dapat dijumpai dalam surah Al-Mujadilah 1 - 6.
Iddah

Iddah berarti masa menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya untuk dibolehkan menikah kembali dengan laki-laki lain. Tujuan iddah antara lain untuk melihat perkembangan, apakah istri yang bercerai itu hamil atau tidak. Kalau ternyata hamil, maka anak yang dikandungnya berarti anak suami yang baru saja bercerai dengannya. Bagi suami yang mempunyai hak rujuk, masa iddah merupakan masa untuk berpikir ulang, apakah ia akan kembali (rujuk) pada istrinya atau mau meneruskan perceraiannya. Lama dari masa iddah adalah sebagai berikut:

Iddah karena suami wafat

a. Bagi istri yang tidak sedang hamil, baik sudah campur dengan suaminya yang wafat atau belum, masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 234.

b. Bagi istri yang sedang hamil, masa iddahnya adalah sampai melahirkan. Ketentuan ini berdasar pada surah At-Talaq ayat 4.

Iddah karena talak, fasakh, dan khulu'

a. Bagi istri yang belum campur dengan suami yang baru saja bercerai dengannya, tidak ada masa iddah. Ketentuan ini berdasarkan pada surah Al-Ahzab ayat 49.

b. Bagi istri yang sudah campur, maka masa iddahnya adalah:
  • Bagi yang masih mengalami menstruasi, masa iddahnya ialah tiga kali suci. Ketentuan ini berdasar pada surah Al Baqarah ayat 228.
  • Bagi istri yang tidak mengalami menstruasi, misal karena usia tua (menopause) masa iddahnya ialah tiga bulan ketentuan ini berdasarkan pada surah At-Talaq ayat 4.
  • Bagi istri yang sedang mengandung, masa iddahnya ialah sampai dengan melahirkan kandungannya. Ketentuan ini berdasarkan pada surah At-Talaq ayat 4.

Rujuk

Rujuk berarti kembali, dalam hal ini yaitu kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya sebagaimana semula, selama istrinya masih berada dalam masa iddah raj'iyyah (lihat surah Al Baqarah, 228).

Hukum rujuk asalnya mubah, artinya boleh rujuk dan boleh pula tidak. Akan tetapi dalam beberapa hal, hukum rujuk bisa berubah seperti berikut ini.

1. Sunnah, misalnya apabila rujuknya suami kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan perilaku serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga bahagia.

2. Wajib, misalnya bagi suami yang mentalak salah seorang istrinya, sedangkan sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan pembagian waktunya.

3. Makruh, apabila meneruskan perceraian dinilai lebih bermanfaat daripada rujuk.

4. Haram, misalnya jika maksud rujuknya suami adalah untuk menyakiti istri atau untuk mendurhakai Allah SWT.

Rukun rujuk ada empat macam, yaitu sebagai berikut:

1. Istri sudah bercampur dengan suami yang mentalaknya dan masih berada pada masa iddah raj'iyyah.

2. Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.

3. Ada dua orang saksi, yaitu dua orang laki-laki yang adil. Ketentuan ini berdasar pada surah At-Talaq ayat 2.

4. Ada sighat atau ucapan rujuk, misalnya suami berkata kepada istri yang diceraikannya selama masih berada dalam masa iddah raj'iyyah, "Saya rujuk kepada engkau!".

Demikian sekilas ringkasan tentang fiqih munakahat. Untuk penjabaran lebih lanjut bisa anda pelajari melalui berbagai kitab/buku kajian fiqih yang membahas tentang hal ini. Semoga bermanfaat. 


Ad by Adsterra