Skip to main content

Jamuan Makan Saat Kematian Seseorang, Bagaimana Hukumnya?

ilustrasi
ilustrasi via suara.com 

Lumrahnya berlaku di masyarakat pedesaan, biasanya dijumpai pada saat kematian seseorang maka keluarga si mayit akan memberikan jamuan makan-makan sederhana baik itu sebelum si mayit diberangkatkan ke kubur ataupun sesudah selesai dikubur. Hal ini biasanya juga akan berlanjut dengan acara selametan untuk mendoakan mayit. Di masa kini, persoalan ini sering menimbulkan pembicaraan ramai di tengah-tengah masyarakat Islam antara yang pro dan yang kontra, antara yang setuju dan yang menentang. Apakah tradisi tersebut diperbolehkan dalam Islam?.

Sebelum menjawabnya, alangkah lebih baik bilamana diteliti terlebih dahulu tentang latar belakang yang menyebabkan timbulnya persoalan tersebut. Berikut uraiannya.

Kalau memang benar bahwa harta atau uang yang dipergunakan untuk membuat jamuan makanan itu berasal dari harta atau uang yang dipaksa-paksakan, baik yang diperoleh dari usaha berhutang atau bahkan sampai berani menggunakan harta hak milik anak yatim, maka jelas hal ini dilarang oleh agama. Begitu pula jika makanan-makanan tersebut dibuat untuk tujuan makan mewah layaknya acara pesta, maka hal itu juga dilarang dan sangat tidak sepantasnya untuk dilakukan.

Kejadian yang seperti inilah yang sering dilihat oleh para sahabat Nabi pada masa lalu, sehingga di kalangan mereka (para sahabat) mengeluarkan pernyataan sebagaimana kata sahabat Jarir bin Abdullah Al-Bajalli.

كنا نعد الإجتماع الى أهل الميت وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة

"Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayit dan membuat makanan sesudah si mayit dikubur, itu termasuk hukum meratapi mayit (artinya dilarang)" (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Akan tetapi jika jamuan makanan yang dibuat dan disuguhkan oleh keluarga si mayit itu adalah berasal dari harta atau uang hak milik pribadi salah seorang keluarganya (anak atau saudara si mayit) yang dengan ikhlas dikeluarkan untuk bershadaqah semampunya, maka ini dibenarkan oleh agama. Karena hal ini jelas merupakan usaha yang termasuk amal baik anak kepada orang tua atau amal baik yang dikeluarkan oleh salah seorang saudara untuk saudaranya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ 

"Apabila telah mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pernyataan Nabi sebagaimana yang tersebut pada hadits di atas jelas memberi pengertian bahwa tindak perbuatan si anak mendoakan kepada kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia adalah dibenarkan oleh ajaran Islam. Tidak ada salahnya juga jika dalam acara mendoakan tersebut juga dibantu oleh para tamu yang diundang dan kemudian si anak tersebut mengeluarkan makanan sederhana untuk menghormati mereka. Bukankah dalam Islam kita juga dianjurkan untuk memuliakan tamu?. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

"Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya". (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits Nabi yang shahih ini, jelas sekali dikatakan bahwa orang yang memuliakan tamu itu diperintahkan oleh Nabi. Dengan demikian, maka Islam membenarkan setiap pemeluknya untuk melakukan bentuk amalan yang bertujuan memuliakan tamu, sebagaimana pula yang dikerjakan oleh para keluarga si mayit, yakni dalam membuat makanan untuk disuguhkan kepada para tamu secara bersama-sama atau berkumpul.


Termasuk juga tentang adanya sekedar makan-makan di rumah keluarga si mayit dimana makanan-makanan itu dibuat dengan bahan atau justru makanan itu berasal dari para tetangga yang diberikan kepada keluarga si mayit, kemudian dikeluarkan untuk menjamu para tamu yang hadir. Tradisi jamuan makan dari makanan-makanan yang sebenarnya berasal dari para tetangga dan handai taulan ini juga dibenarkan oleh agama Islam. Terkait hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

قال عبد الله بن جعفر: لما جاء نعي جعفر حين قتل قال النبي صلى الله عليه وسلم إصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم ما يشغلهم

"Berkata Abdullah bin Ja'far: 'Ketika tersiar berita terbunuhnya Ja' far, maka kemudian Nabi bersabda: 'Hendaklah kalian membuat makanan untuk keluarga Ja' far, sebab mereka sedang ditimpa perkara yang menyusahkan'". (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Majah, Syafi'i, dan Thabrani)

Hadits di atas dapat diambil pengertian bahwa apabila terjadi seorang meninggal dunia, maka bagi para tetangganya dianjurkan untuk memberikan makanan-makanan kepada keluarga si mayit yang ditinggalkan. Artinya perbuatan tersebut diperbolehkan, bahkan dianjurkan.

Begitu juga, sama sekali tidak ada larangan bahwa makanan yang dari tetangga tersebut tidak boleh dikeluarkan oleh keluarga si mayit guna menyuguh para tamu yang hadir. Hal ini menunjukkan bahwa makanan dari tetangga adalah boleh disuguhkan kepada para tamu itu, malahan bisa jadi tetangga tersebut memperoleh pahala ganda karena di samping makanannya diberikan kepada keluarga mayit karena sedang ditimpa kesusahan juga makanannya itu kemudian untuk menghormati para tamu.

Imam Syafi'i dalam kitabnya, "Al-Umm" juga menyebutkan:

قال الشافعي: ويستحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما مايشبعهم وإن ذالك سنة

"Imam Syafi'i berkata: Dan disunnahkan bagi tetangga atau kerabat agar membuat makanan untuk ahli mayit pada hari terjadi kematian dan malamnya, makanan yang mengenyangkan mereka, karena itu adalah sunnah (maksudnya amalan Nabi)". (Al- Umm I/247).

Berdasarkan semua uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya berkumpul makan-makan di rumah keluarga si mayit sebagaimana yang sering terjadi, pada dasarnya adalah dibenarkan oleh ajaran Islam selama masih dalam batas norma yang diperbolehkan, karena Nabi sendiri telah jelas menganjurkan praktek amalan semacam itu. Wallahu A'lam.


Ad by Adsterra