Skip to main content

Peran Kaum Santri dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Beberapa hari yang lalu (22 Oktober), kita baru saja merayakan hari Santri Nasional dimana penentuan tanggal tersebut merujuk pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Seruan tersebut berisikan perintah kepada para santri untuk berperang (jihad) melawan tentara sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca Proklamasi kemerdekaan. Atas dasar peristiwa tersebut, maka tanggal 22 Oktober kemudian ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional lewat Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. 

santri ngaji
ilustrasi santri via ramadan.tempo.co

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, dimana proses penyelenggaraan pendidikannya bersifat tradisional dan sederhana. Mata pelajaran yang diajarkan di pesantren di antaranya yaitu ilmu Tauhid, Fiqih, Ushul Fiqih, Akhlak, Nahwu, Sharaf, Ilmu Manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya. Adapun sumber pengajarannya, selain Al Qur'an dan Hadits, biasanya juga berasal dari kitab-kitab berbahasa Arab yang tidak berharakat atau gundul, biasa juga disebut dengan "Kitab Kuning".

Para pendidik dan pengajarnya biasa disebut Kiai, sedangkan murid-muridnya disebut para santri. Para santri adakalanya datang dari berbagai pelosok tanah air. Mereka kemudian bertempat tinggal di lokasi yang sama, yaitu pondok pesantren. Pondok Pesantren merupakan tempat mencetak generasi muda Islam agar kelak menjadi kader umat dan pemimpin masyarakat. Setelah selesai menimba ilmu di pesantren, mereka akan kembali ke daerahnya masing-masing. Kebanyakan dari mereka kemudian mendirikan pesantren di daerahnya atau mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat sekitar di daerahnya.

Selain memperdalam ilmu keagamaan, para Ulama memiliki peran sangat penting dalam mendorong umat Islam untuk berpartisipasi dalam perjuangan pada masa perang kemerdekaan. Mereka membina kader umat Islam melalui pesantren dan aktif dalam pembinaan masyarakat. Banyak santri tamatan pesantren kemudian melanjutkan pelajarannya hingga ke Timur Tengah, dan sekembalinya dari Timur Tengah mereka menjadi Ulama besar dan pimpinan perjuangan. Di antaranya adalah KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Ahmad Dahlan, KH. Abdul Halim, H. Agus Salim, dan sebagainya.

Sebagai kader umat Islam dan pemimpin masyarakat, Islam mengajarkan agar mereka bersatu untuk berjuang meraih kemerdekaan yang telah dirampas oleh penjajah. Itulah sebabnya kemudian para kiai dan santri mendirikan organisasi bersenjata untuk melawan penjajah, seperti Hizbullah dan Gerakan Kepanduan Islam. Tidak sedikit para kiai dan para santri yang ikut mengangkat senjata berperang melawan kaum penjajah. Di antara para Kiai tersebut antara lain KH. Zaenal Mustafa (Singaparna, Tasikmalaya), KH. Abbas (Buntet, Cirebon), KH. Masykur (Malang), dan sebagainya. 

Semangat cinta tanah air dan rasa kebangsaan yang didengungkan Islam dengan semboyan "Hubbul Wathan Minal Iman" (cinta tanah air sebagian dari iman) terbukti mampu mengubah cara berpikir masyarakat Indonesia, khususnya para pemudanya, yang dulunya bersifat sektarian (lebih mementingkan suku dan daerahnya) menjadi bersifat nasionalis (lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya). Hal ini ditandai dengan lahirnya organisasi pemuda bernama Jong Indonesia pada bulan Februari 1927 dan dikumandangkannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

Selain itu, sebuah semboyan yang berbunyi "Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan" juga telah mampu mendorong masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, untuk melakukan usaha-usaha dalam mewujudkan kemerdekaan bangsanya melalui berbagai cara. Organisasi pergerakan Islam pun bermunculan untuk berjuang bersama demi tercapainya kemerdekaan. Namun ketika dengan cara damai tidak berhasil, maka langkah selanjutnya yaitu dengan menempuh cara peperangan atau jihad fi sabilillah.

Menurut Islam, berperang dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa, negara, dan agama merupakan "jihad fi sabilillah" yang hukumnya wajib. Sedangkan umat Islam yang mati dalam jihad fi sabilillah tersebut dianggap mati syahid, yang imbalannya adalah surga. Perubahan-perubahan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang ditanamkan Islam tersebut mendorong umat Islam Indonesia di berbagai pelosok tanah air untuk berjuang mengusir kaum penjajah dengan berbagai cara, termasuk dengan cara peperangan.

Umat Islam Indonesia memang mempunyai peran cukup penting dalam berkontribusi mewujudkan kemerdekaan di negeri ini. Sejarah telah mencatat beberapa nama pahlawan Islam yang telah berjuang melawan imperialisme Portugis dan Belanda seperti Fatahillah, Sultan Baabullah, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan sebagainya. Demikian juga pada masa penjajahan Jepang, banyak para Ulama yang turut memimpin bala tentara Islam melawan imperialis Jepang demi menegakkan martabat bangsa dan negara Indonesia.

Itulah sekelumit tulisan kali ini berkenaan dengan peringatan Hari Santri Nasional. Dengan momen peringatan Hari Santri Nasional ini, semoga kita selalu mengingat dan meneladani semangat jihad para Ulama dan kaum santri dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semoga bermanfaat.


Ad by Adsterra